Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rasa Memiliki

9 Januari 2023   17:37 Diperbarui: 15 Februari 2023   20:21 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah ada pengakuan dan insentif yang memadai untuk upaya lebih yang dilakoni para pekerja? Salah-salah 'upaya ekstra' itu justru dianggap mengacaukan ritme kerja yang sudah diskenariokan atasan. Pimpinan jadi dominan dan pegawai jadi dependen. Mirip struktur negara kolonial.

Pimpinan menuntut pegawai untuk punya rasa memiliki, tetapi pada saat yang sama bersikap sebagai pemilik tunggal. Pegawai perlu ditertibkan dan didisiplinkan, sementara  pimpinan tidak mesti didisiplinkan. Terjadi kekacauan dalam nalar yang melandasi budaya organisasi. Banyak yang tidak masuk akal, tapi harus diaminkan karena apa mau dikata: itulah maunya pimpinan. Akhirnya yang tumbuh adalah budaya feodal. Pegawai harus bekerja dengan cara dan hasil sebagaimana selera pimpinan.  Makin dekat dengan penguasa, kian besar kue kesejahteraan yang bisa dinikmati. Itulah kultur feodal.

Rasa memiliki tidak menafikan adanya hirarki. Dalam organisasi, hirarki (struktur vertikal) maupun struktur horisontal adalah keharusan. Akan tetapi yang bisa diusahakan untuk diubah adalah atmosfernya. Relasi atasan dan bawahan tidak dibina atas dasar hubungan dominance-dependence, seperti halnya penguasa-rakyat dalam negara kolonial atau negara feodal. Sebaliknya, setiap orang diberi ruang kebebasan yang cukup untuk mengaktualisasikan peran dan fungsi strukturalnya dalam organisasi. Organisasinya rasional namun semangatnya paguyuban.

Membangun rasa kekeluargaan, merenggangkan struktur, membuka ruang-ruang kebebasan, mengatur kembali pola kerja yang sehat dan masuk di akal, mengakui upaya-upaya individu, dan menghindari micro-management adalah serangkaian upaya untuk membina 'rasa memiliki' pekerja terhadap perusahaan. 

Pola komunikasi yang sehat adalah 'kunci pembuka' sekaligus muara dari upaya-upaya tersebut di atas. Komunikasi yang macet dan tersumbat sering disebabkan  gaya komunikasi tidak produktif yang dilakukan berulang-ulang. Singkatnya: dari gaya ke pola. Dari pola menjadi budaya. Kesalahpahaman, kritik yang tertuju pada pribadi bukan pada isi argumennya, akhirnya membuat pihak tertentu merasa sakit hati dan tidak nyaman. 

Tujuan organisasi yang mulia harus ditopang kesukarelaan, semangat berkontribusi yang pro-aktif, yang lahir dari kerelaan dan rasa memiliki. Jika tidak ada pihak yang mau mengendurkan egonya, selama-lamanya organisasi menjadi ajang battle of ego. Organisasi semacam ini tidak akan mampu fokus lagi terhadap tujuan. Sebaliknya dikuatirkan ia akan jadi stagnan atau justru semakin merosot.

Wallahu a'lam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun