Sumber foto: pixabay.com
Anak-anak, sesuai fitrahnya, sangatlah membutuhkan permainan guna memenuhi egosentrisme dan ruang imajinasinya. Jika kebutuhan bawaan ini tidak terpenuhi, dikuatirkan mereka akan tumbuh selaku orang-orang dewasa yang masa kecilnya kurang bahagia (adult with wounded 'inner child'). Maka, model pembelajaran yang direkomendasikan untuk anak-anak adalah belajar melalui bermain (play based learning, learn through play).
Di lain sisi, karena kehidupan nyata menyodorkan aneka problematika, orang dewasa dianjurkan menjalani semacam pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) supaya kreativitasnya muncul dan kemampuan problem solving-nya terasah. Pembelajaran berbasis masalah mendekatkan pembelajar dengan dunia nyata -- sehingga makin menguatkan relevansi lembaga pendidikan dengan kebutuhan dunia nyata di lapangan.
Dalam bahasa yang lebih sederhana bisa kita katakan bahwa bermain bagi anak-anak adalah semacam persiapan menghadapi masalah. Sementara itu, memecahkan masalah adalah semacam permainan yang mesti dituntaskan. Dunia serius hakikatnya adalah permainan sedangkan yang bermain-main akibatnya bisa sungguhan.
Manusia dijuluki homo ludens, makhluk yang bermain-main. Bergembira ria dipandang sebagai cara menikmati hidup dan permainan merupakan komponen yang mencolok dari kebudayaan, betapapun sia-sia dan konyolnya.
Di dunia anak, kreativitas dimunculkan lewat imajinasi, sedangkan di dunia orang dewasa kreativitas dipantik melalui penyediaan masalah dan latihan berpikir lateral.
Tugas pendidikan sejatinya adalah mengakrabkan peserta didik dengan 'dunia nyata' dan menyelaraskan peserta didik dengan bawaan alamiahnya, dengan fitrahnya. Tugas lain pendidikan yang juga tak kalah strategis adalah membuat pembelajaran itu bermakna dan menjadi sesuatu yang mengasikkan.
Agar mengasikkan maka subjek pembelajaran memang harus 'mengikuti' minat pelajar, mengikuti 'bakat' alamiahnya dari jenis kecerdasan yang ia miliki. Dari sini maka pemetaan bakat (talents mapping) dan identifikasi jenis kecerdasan sangat diperlukan.
Yang terpenting sekarang adalah bagaimana proses belajar itu menjadi sesuatu yang dijalani secara sukarela. Peserta didik mempelajari ilmu dan mengamalkan ilmunya secara ikhlas hati. Ia memiliki rasa ingin tahu, cinta ilmu, senang meneliti, atas pilihan dan kerelaan hatinya, tanpa paksaan dari luar. Ia juga memiliki kendali diri dari dalam yang bukan merupakan disiplin hipokrisi: takut melanggar jika dilihat orang dan menjadi liar jika bebas dari pengawasan.
Dalam pendidikan anak usia dini metode Montessori anak diberi kebebasan  memilih opsi pembelajaran yang memang disenanginya. Dengan cara ini anak memiliki kemandirian, kesukarelaan dan karenanya menghidupi semangat dan motivasi belajar yang alamiah. Para penggiat metode Montessori mengistilahkan hal ini sebagai 'freedom with limits'. Semangat ini pula yang kelak membuat anak terbiasa belajar secara swakarsa.
Anak cinta belajar karena topik pembelajaran merupakan pilihannya sendiri, sehingga ia merasakan belajar sebagai pengalaman yang menyenangkan. Guna memperkuat keikhlasan dalam belajar itu, rangsangan dari luar semacam pujian dan atau kritik sama sekali tidak diperkenankan. Guru hanya bertindak selaku pengamat, fasilitator dan pemberi penguatan (lewat sikap dan kata-kata). Anak didorong agar merasakan kepuasan pribadi dan kesenangan dari dalam dirinya sendiri manakala berhasil menuntaskan suatu tugas atau pekerjaan.
Dengan cara ini sekaligus pula kita berhasil menghindarkan apa yang disebut Ki Darmaningtyas sebagai 'pendidikan rusak-rusakan' di mana peserta didik hanya menyasar 'hasil' yang instan dan mengabaikan 'proses' belajar yang wajar. Orang mengejar gelar dan ijazah lewat jual beli jasa pembuatan skripsi dan tesis, menempuh semester pendek yang tidak efektif, dan diluluskan selaku sarjana meski tidak becus menyusun alur berpikir ilmiah.
Orang dewasa harus diberi kebebasan memilih metode belajar secara swakarsa yang sekarang dikenal dengan istilah 'heutagogy'. Penyelenggaraan heutagogy dalam konteks pendidikan formal sudah pernah dilakukan dan dibukukan secara tersendiri dalam Self Determined Learning: Heutagogy in Action (Hase & Kenyon, 2013). Dengan cara ini maka pembelajaran menjadi sesuatu yang lahir dari dalam dan sangat mungkin menghasilkan 'flow' dalam diri pelajar saat menjalani prosesnya.Â
Pembelajaran swakarsa sangat kongruen dengan misi pembinaan manusia pembelajar, bahkan pembelajar sepanjang hayat (long life learner). Memadukan heutagogy dengan problem based learning akan melahirkan banyak solusi yang bermanfaat bagi kehidupan. Bukan itu saja, dalam diri pelajar akan tumbuh banyak kemahiran dan kompetensi karena proses belajar dan proses penyelesaian masalah itu menuntut banyak sekali soft skills terutama kemampuan berempati, kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, kreativitas, keberanian mencoba, dan sekaligus keberanian mengalami kegagalan (failure).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H