Perihal saya disebut penulis dan pemerhati pendidikan itu lantaran saya bantu Pak Maman Sulaeman, M.Pd. me-layout ulang bukunya yang berjudul ‘Project Based Learning’ (PBL). Waktu itu di awal-awal pandemi, kalau tidak salah sekitar Maret 2020.
Pak Maman juga yang mendesak agar saya yang bukan siapa-siapa ini mau dijadikan Pak Maman sebagai pemberi testimoni konten bukunya. Karena sumber penghasilan serba tidak pasti usai resign, di awal pandemi itu saya coba memberanikan diri melakukan image branding selaku penulis (karena nanti mau jualan buku!).Â
Sampul saya buat dominan warna ungu dan di bagian belakang ada testimoni para pakar pendidikan Islam mulai dari Prof. Joni Hermana, Dr. Supriyanto Abdurrahman, Dr. Hary T Budhyono, Dr. Ridwan Haris dan saya, tukang layout.Â
Perihal Pak Maman janganlah diragukan kapasitasnya selaku pendidik khususnya sebagai pengajar biologi. Semua tetek bengek ilmu biologi tentang bangsa hewan, tumbuhan dan manusia ia kuasai sampai ke akar-akarnya. Mulai dari pencernaan hewan gajah sampai cara memanfaatkan hewan mikroba, semua ia kuasai di luar kepala.Â
Selain itu setahu saya Pak Maman berpengalaman juga mendirikan sekolah dan mengurus perizinan. Bidang-bidang yang pernah diterjuninya di luar mengajar antara lain: penelitian dan pengembangan, SDM dan pelatihan, serta ketua panitia kegiatan ini dan itu.
Isi buku Pak Maman sangat bagus, bermanfaat dan sangat dibutuhkan para pendidik. Sayangnya penyuntingan bahasa tidak bisa dilakukan secara maksimal karena fokus saya lebih ke lay-out. Lumayan laku buku Pak Maman itu. Di tiga platform marketplace setiap pekannya ada saja orang yang pesan, sebagian besarnya guru atau mahasiswa.
Sekarang PBL kian populer lewat Kurikulum Merdeka dan buku itu sebenarnya makin dibutuhkan. Malah sebaliknya diupgrade lagi isinya dengan memberi contoh-contoh penerapan PBL untuk mata pelajaran non-sains (sosial humaniora, bahasa dan agama).
Dalam diskusi santai untuk guru-guru SMA Future Gate Bekasi, 25 Agustus 2022, Pak Maman menyarankan agar para guru tidak enggan mencoba mencari format PBL yang paling pas pada mata pelajaran yang diampu. Ia sendiri harus mencoba berkali-kali sampai mendapatkan formula pembelajaran yang tepat.Â
Enaknya bila PBL ini berjalan, maka para siswa akan menemukan sendiri solusi dari masalah-masalah kontekstual di sekeliling mereka. Singkat kalimat PBL ini melatih mereka menjadi problem solver. Mereka akan antusias belajar dan guru hanya memfasilitasi, bahkan hanya mengawasi. Tidak jarang wawasan dan pengetahuan diperoleh guru justru dari para siswa berkat PBL ini.
Tidak semua capaian pembelajaran (kompetensi dasar) cocok menggunakan PBL. Itu harus diakui. Guru harus menyeleksi capaian pembelajaran yang bisa diraih dengan pembelajaran project based itu.Â
Project based learning tidak sama dengan praktikum atau prakarya, meski sama-sama menghasilkan produk. Produk dalam praktikum dihasilkan lewat instruksi yang sama, sedangkan PBL benar-benar datang idenya dari siswa.Â
Mereka yang mengidentifikasi masalah, mencarikan solusi, menyusun jadwal penelitian kemudian mempresentasikan produk temuan mereka dan mengevaluasi kerja yang mereka lakukan untuk perbaikan di masa mendatang.
Paling bagus, kata Pak Maman, PBL itu dilakukan secara berkelompok, maksimal dengan melibatkan 4 (empat) orang siswa per kelompok. Jangan lebih. Kalau kebanyakan nanti ada siswa yang tidak bekerja. Dilakukan secara individual juga bisa. Nanti lihat hasilnya.
Pak Maman berencana melanjutkan studi S3 dan menambah variabel penelitiannya dari sekedar ‘bernalar kritis’ dan ‘berpikir kreatif’, dengan variabel ‘kolaboratif’ dan ‘komunikatif’.
PBL ini salah satu model pembelajaran yang menghindarkan diri model pembelajaran langsung (ceramah satu arah). Jadi para guru bisa menghemat pita suaranya untuk lain-lain keperluan.
Wallahu a’lam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H