Kisah perjalanan (rihlah) ilmiah Nabi Musa alaihissalam bersama asistennya Yusya’ bin Nun -menemui Nabi Khidr, merupakan contoh dari kegigihan seorang pembelajar swakarsa dalam pembelajaran yang diistilahkan sekarang sebagai self-determined learning alias ‘heutagogy’.
Tanpa bermaksud mencocok-cocokkan (cocoklogy), profil Nabi Musa sebagai pembelajar memang sangat mewakili ajaran dan anjuran menuntut ilmu dari agama Islam, sampai dengan masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Kisah ini dituturkan dengan indah dan manusiawi dalam Surat Al-Kahfi (18) ayat 60-82. Demikian pula penjelasan hikmah dan hukum-hukumnya diuraikan dalam Tafsir As-Sa’dy.
Kisah ini sudah banyak dikaji dan ditulis orang. Namun masih ada sejumlah pelajaran penting kisah itu dalam relevansinya dengan strategi pembelajaran kontemporer.
Sebelum manusia mampu ‘melipat jarak dan waktu’ lewat internet, perjalanan jauh untuk menemui para pakar dan orang-orang berilmu, untuk ber-mulazamah bersama mereka merupakan proses dan konsekuensi yang lazim dan harus dilakoni seorang pembelajar zaman dahulu. Misalnya para ahli hadis yang mencari riwayat dari para perawi di berbagai negeri muslim di masa keemasan kodifikasi ilmu hadis.
Pembelajaran swakarsa (self directed, self-determined, atau self regulated learning) adalah kondisi di mana pembelajar menentukan sendiri hasil (outcomes) yang ingin ia capai, beserta metode, prosedur, alat dan tahapan-tahapannya.
‘Heutagogy’ adalah istilah baru dari pedagogy barat yang dimaksudkan sebagai semacam metode belajar mandiri yang biasa diraih kaum otodidak (self-taught). Kalau belajar otodidak menyiratkan pembelajaran mandiri dengan ketiadaan instruktur atau mentor, heutagogy masih mengandaikan adanya guru, pembimbing, mentor, instruktur, namun otoritas dan inisiatif belajar datang dari diri pembelajar (inside out) bukan akibat intervensi dari luar.
Di bawah ini adalah pelajaran dan hikmah yang kami maksud.
Pertama, bahwa pembelajar swakarsa adalah seorang yang motivasi belajarnya di atas rata-rata. Dia mau bersusah payah dan rela menempuh waktu yang lama guna mendapatkan ilmu yang diinginkan.
“Dan ketika Musa berkata kepada bujangnya, ‘Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua lautan, atau aku akan berjalan terus hingga bertahun-tahun.’” (Surat Al Kahfi: 60)
Kedua, pembelajar swakarsa adalah pribadi yang kritis, yang berani mengatakan sesuatu yang salah menurut pikirannya dan menurut akal sehat sebagai sesuatu yang perlu dipersoalkan dan harus diingkari.
Ketika Khidr melubangi perahu milik orang, Musa langsung protes (dia lupa dengan komitmennya untuk tidak menyoal dan tidak melakukan pengingkaran):
“Mengapa engkau melubangi perahu itu? Apakah engkau hendak menenggelamkan penumpangnya? Sungguh ini suatu kesalahan besar!” (Surat AlKahfi: 71)
Pada kasus pertama ini Musa terlupa.
Ketika Khidr membunuh anak kecil yang tidak bersalah, Musa memprotes kembali. Kali ini dengan kesadaran dan kesengajaan, kesabarannya jelas hilang.
Pada kali ketiga, ketika Khidr membangun rumah yang hampir roboh di suatu negeri yang tidak mau menjamu mereka, Musa berkomentar: “Kalau kau mau, kau bisa minta upah atas usahamu itu…” (ayat 77) karena mereka tidak dijamu secara semestinya selaku pengunjung yang bertamu.
Musa tidak menyoal atau mengingkari, hanyalah memberi komentar. Ini cukup sebagai pelanggaran fatal terhadap prosedur belajar yang menjadi komitmen mereka bersama.
Sebelum berpisah Khidr menerangkan kepada Musa rahasia di balik ketiga peristiwa aneh itu. Perahu yang dilubangi itu agar tidak dirampas raja (penguasa) zalim yang suka merampas perahu nelayan miskin. Anak kecil yang tampak lugu itu dibunuh karena nanti kalau sudah dewasa ia pasti memaksa kedua orang tuanya yang mukmin agar menjadi kafir. Sedangkan bangunan yang ia perbaiki itu di bawahnya ada harta dari orang tua saleh untuk dua anak yatim pemilik bangunan. Harta itu sebagai simpanan buat kedua yatim tersebut (ayat 79-82).
Musa menakar berdasarkan fenomena yang zahir, Khidr menakar yang batin. Musa hanya melihat ‘yang sekarang’ Khidr sudah meneropong kepastian masa depan. Yang munkar di mata Musa, ternyata merupakan sesuatu yang ma’ruf. Khidr menempuh kemunkaran yang ringan guna mencegah kemunkaran yang lebih besar.
Syariat Nabi Khidr memang berbeda dengan syariat Nabi Musa. Akan tetapi baik Khidr dan Musa sama-sama bertindak berlandaskan wahyu (divine revelation).
Ketiga, pembelajar swakarsa tidak punya gengsi atau kesombongan untuk belajar kepada orang yang punya ilmu atau kemahiran yang tidak dia miliki. Sebaliknya ia memiliki kerendahan hati untuk menimba ilmu, menunjukkan kebutuhannya terhadap ilmu pengetahuan. Keinginannya hanyalah memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Musa tanpa diragukan lebih berilmu daripada Khidr dalam satu kategori ilmu. Akan tetapi Khidr memiliki ilmu ‘jenis lain’ yang tidak dimiliki Musa.
Musa adalah seorang nabi, sedangkan Khidr hanyalah hamba Allah yang shalih yang dikarunia rahmat Allah dan ilmu laduni.
Keempat, tidak diceritakan bahwa pada akhirnya Musa menguasai ilmu yang dimiliki Khidr. Namun yang jelas, saat bermulazamah dengan Khidr itu Musa mempelajari prosedur belajar dan komitmen belajar: yaitu sabar, tidak terburu-buru menghukumi, menyoal atau mengingkari persoalan yang belum jelas. Karena yang pada lahirnya keliru ternyata benar pada akhirnya. Yang dipandang munkar ternyata ma’ruf.
Musa gagal dalam memenuhi prosedur belajar itu, meski sejak awal sudah berkomitmen untuk menahan diri dari menyoal, memprotes, atau berkomentar terhadap tindakan gurunya.
Komitmen awal itu satu hal, pelaksanaannya lain lagi.
Kelima, pembelajar swakarsa punya etika belajar, punya personal values. Ketika dua kali Musa gagal dan tidak cukup sabar menahan diri untuk tidak bertanya, pada kali ketiga Musa sendirilah yang pada akhirnya menyatakan siap berpisah dari gurunya itu.
“Jika aku bertanya lagi kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan bolehkan aku menyertaimu lagi. Cukup sudah toleransi yang kau berikan.” Kira-kira demikian makna ayat ke-76.
Keenam, seorang pembelajar swakarsa sangat membutuhkan toleransi yang besar atas kesalahan yang ia buat dalam proses belajar, terutama karena lupa (lalai). Kesalahan sangat mungkin dan ini jamak. Pengajar atau fasilitator pembelajaran hendaknya tidak membebani atau mempersulit pembelajar dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Pembelajar adalah pusat dari proses interaksi yang berpendar.
Dalam hal ini bukan saja Musa yang lupa akan komitmen awalnya, Yusya' bin Nun, sang pemuda yang menyertai perjalanan Musa menemui Khidr sempat lupa soal ikan masak yang hidup lagi dan melompat ke laut dengan cara yang aneh.
Lokasi di mana lauk ikan yang sudah dimasak melompat menjadi 'ikan hidup' itu merupakan penanda lokasi Al-Khidr. Yusya lupa memberi tahu gurunya (Musa) soal itu. Mereka sudah meninggalkan lokasi Al Khidr hingga waktu siang berikutnya. Mereka terpaksa balik arah.
Tidak dinyatakan dalam ayat bahwa Musa memarahi Yusya'.
Yusya': "Tahukah engkau ketika mencari tempat berlindung di batu tadi aku lupa menceritakan ikan itu, dan yang membuatku lupa tidak lain adalah setan. Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."
Musa: "Itulah tempat yang kita cari!"
Lalu keduanya kembali, berbalik arah ke jejak mereka semula. (Ayat 63:64)
Wallahu a'lam bis shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H