Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keindahan Makna Sayyidul Istighfar (Bagian 1)

17 September 2021   20:22 Diperbarui: 17 September 2021   20:26 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkau telah menciptakan aku dan aku adalah hambaMu. Dan aku diatas perjanjian Engkau dan diatas janji Engkau apa yang aku mampu. Aku berlindung kepada Engkau dari keburukan apa yang aku perbuat. Aku kembali kepada Engkau dengan membawa nikmatMu kepadaku. Dan aku mengakui kepada Engkau akan dosa-dosaku, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni kecuali Engkau."

Doa di atas, sebagaimana kerap ditemukan dalam teks-teks doa yang lain, seakan menyiratkan kronologis yang runtut dalam konteks hubungan Allah dengan hamba-Nya. Hubungan yang agung dan mengharukan. Si hamba datang kepada Penciptanya, kepada Tuhannya lantaran merasa bersalah dan berdosa. Ia mengajukan permohonan ampun lewat lafal doa yang dikenal sebagai 'sayyidul istighfar' (penghulunya istighfar).

Doa ini merupakan salah satu bukti kebenaran, kebagusan dan keindahan agama Islam bagi orang yang berakal sehat, jujur dan mau mendengar hati nuraninya sendiri.

Kalimat pertama dalam rangkaian sayyidul istighfar itu berbunyi:

Allahumma Anta Rabbi, laa ilaaha illa Anta.

Wahai Allah Engkaulah Rabb-ku, tiada tuhan yang berhak disembah dengan benar selain Engkau.

Segalanya bermula dari keberadaan Allah sebagai Rabb, selaku Pencipta, Pemberi Rizki dan Pemelihara alam semesta. Oleh karena Dia adalah satu-satunya Rabb di alam ini maka hanya Dia yang berhak disembah sepenuhnya oleh seluruh makhluk.

Pengakuan seorang hamba dimulai dari pengakuannya akan Allah sebagai Rabb kemudian sebagai Ilah. Ini menunjukkan bahwa si hamba mengaku beriman, takluk dan tunduk kepada Allah di awal mula permohonan ampun yang ia ajukan.

Mustahil ia memohon ampun jika ia tidak mengakui Allah sebagai Rabb dan Ilah yang benar. Tidak ada tuhan yang mencipta selain Allah. Tidak ada yang berhak disembah secara benar selain Allah. Adapun tuhan-tuhan lain yang disembah manusia, tidak pernah mencipta atau punya saham sedikitpun dalam penciptaan alam semesta yang dahsyat ini.

Dengan kalimat lain, teks doa memuat pengakuan akan rububiyah Allah kemudian uluhiyah-Nya.

Khalaqtanii. Engkau ciptakan aku.

Kalimat selanjutnya adalah 'khalaqtanii' yang artinya engkau telah ciptakan aku. Yakni, si hamba mengakui Allah yang telah menciptakannya, mengadakannya, dari tiada menjadi ada.

Dan ketika 'ada' itu si hamba mencecap berbagai kenikmatan: melihat, mendengar, meraba, merasa, dan mengalami aneka pengalaman hidup dalam daur hidupnya yang kelak berujung di akhirat. Sebab bagi pengalaman hidup itu, baik yang nikmat maupun yang lahirnya tidak nikmat, adalah Allah Rabb dan Ilah yang hak, yang telah menciptakannya.

Wa ana abduka. Dan aku adalah hamba-Mu.

Si hamba menegaskan status kehambaannya. Sebagai budak, sahaya yang siap diperintah dan dilarang oleh Pemiliknya. Ini adalah pengakuan berikutnya setelah pengakuan Allah sebagai Rabb, Ilah yang telah menciptakan dirinya. Sekarang ditambah lagi dengan pengakuannya selaku hamba, selaku budak. Status mana lagi yang lebih rendah daripada budak?

Sepandai apapun, sebesar apapun kekuasaannya, setinggi apapun jabatannya, tetaplah dia seorang budak, yang hina dan rendah di hadapan Rabb semesta alam.

Wa ana 'ala 'ahdika wa wa'dika mastatha'tu.

Dan aku berada dalam ikatan dan janji-Mu sekemampuanku.

Dalam potongan kalimat ini terdapat dua kata yang nyaris semakna. Yakni 'ahd dan wa'd. Keduanya jika diterjemahkan secara bebas bermakna: 'perjanjian'. Kata 'ahd lebih berimplikasi pada adanya pembebanan kewajiban atau ikatan perintah kepada si hamba. Sedangkan wa'd mengimplikasikan adanya janji Allah untuk memenuhi hak si hamba jika saja si hamba itu taat kepada-Nya. Janji itu ialah surga.

Syaikh Majdi bin Abdul Wahhab Ahmad pensyarah Hishnul Muslim menafsirkan bahwa ikatan perintah dan janji itu berkaitan dengan tauhid. Artinya: si hamba terikat pada tauhid dan realisasi tauhid. Jika ia melaksanakan tauhid secara konsekuen maka ia berhak atas janji Allah berupa surga. Demikian kira-kira tafsiran beliau secara makna.

Mastatha'tu.

Sekemampuanku.

Artinya, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi ikatan perintah dan janji itu, sampai pada batas kemampuanku yang paling maksimal. Jika yang maksimal itu ternyata jauh dari sempurna itulah batas kemampuanku sudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun