Generasi kita semakin cerdas dan terampil, namun makin akrab dengan anjing.
Salah apa anjing sehingga dijadikan kata makian favorit di samping hewan-hewan lain semisal babi dan monyet? Mereka yang membela penggunaan kata ‘anjing’ berdalih bahwa itu adalah ekspresi keakraban jika dilontarkan kepada orang yang dikenal.
Lazim diketahui bahwa kata yang sama awalnya merupakan bentuk kekerasan verbal jika dilontarkan pada pihak lain yang jadi obyek kemarahan.
Dalam salah satu rapat antara DPRD DKI Jakarta dengan Gubernur Ahok, 5 Maret 2015 –terlontar kata makian yang sama lantaran tensi dialog yang meninggi. Ahok dimaki ‘anjing’ oleh anggota DPRD. “Ya kan dibilang saya nggak santun. Kan tadi aku sekilas dengar ada yang teriak 'anjing' gitu ya. Aku pengen balesin daging anjing enak!” jawab Ahok santai.
Di Indonesia yang mayoritas muslim, anjing diasosiasikan sebagai binatang yang jelek, rendahan dan mengganggu. Terutama karena hewan itu selalu menjulurkan lidah setiap saat. Liurnya najis berat, harus disucikan dengan air sebanyak tujuh kali. Salah satunya dengan tanah.
Ali Sadikin, gubernur Jakarta yang legendaris, dikenal sebagai ‘gubernur monyet’, karena –mengutip penuturan JJ Rizal –sering memaki orang dengan makian: “Monyet, lu!”
Kalau mau mundur lebih jauh ke belakang, makian ‘anjing’ ini punya sejarah yang panjang. Sukarno pernah dimaki sebagai ‘anjing piaraan Jepang.’ Syahrir saat memilih berunding dengan Belanda diumpat sebagai ‘anjing belanda’. Sedangkan para pengkhianat republik di masa revolusi disebut ‘anjing-anjing NICA’.
Kalau babi dan monyet sudah pasti jelek tampangnya, anjing memiliki dua citraan: buas sekaligus cerdas, lucu dan jinak. Akan tetapi pemilihan anjing sebagai kata makian pasti lantaran karakter-karakter buruknya: suka menjulurkan lidah, nyaring gonggongannya, suka menggigit, menularkan penyakit, bahkan membunuh.
Di Amerika atau dunia barat umumnya anjing lebih dimuliakan. Di Indonesia kebiasaan itu sudah mulai tumbuh juga. Misalnya ada kontes anjing yang dirawat betul sampai mirip boneka. Cuma saja anjing di Indonesia belum ada yang jadi bintang film. Jadi, persahabatan yang mengharukan antara pemilik dan anjing peliharaannya dijamin tidak ada di dunia film atau sinetron nasional.
Di negara-negara Indocina, anjing biasa dijadikan santapan. Demikian pula di sejumlah daerah mayoritas non-muslim di Indonesia, daging anjing adalah konsumsi yang lazim.
Islam dalam hal ini berada di titik moderasi: tidak menyarankan memelihara anjing di dalam rumah (kecuali anjing kebun dan anjing pemburu), menajiskan liurnya dan mengharamkan dagingnya. Jika anjing itu terbukti menularkan penyakit berbahaya (rabies) atau berpotensi membunuh maka anjing itu boleh dibunuh.