Maret 2023, saya sempat berkelana ke Pulau Flores. Mengelilingi pulau tersebut dari ujung barat hingga ujung timur, dari Labuan Bajo hingga Larantuka. Kontur dan geografis Flores yang didominasi perbukitan dengan jalan meliuk-liuk naik dan turun mewarnai perjalanan kali itu.Â
Sesampainya di Larantuka, saya mendapati keadaan yang kontradiktif. Kota yang dikenal dengan julukan 'Serambi Vatikan' itu memang lebih ramai dan lebih maju dibanding Labuan Bajo yang baru bersolek beberapa tahun belakangan.Â
Statusnya sebagai kota pelabuhan karena melayani berbagai rute pelayaran ke pulau-pulau sekitarnya seperti Adonara, Solor, Lembata, hingga ke Kupang dan Alor, membuat Larantuka menjadi kota yang besar dan sibuk.Â
Kendati demikian saya juga melihat kota ini seperti belum tersentuh modernitas, khususnya di bidang transportasi. Singkatnya, saya tidak menemui transportasi online di Larantuka. Padahal sebagai seorang traveler zaman now, transportasi online mutlak dibutuhkan untuk mobilisasi.Â
Sebagai gantinya, di Larantuka ada banyak jasa ojek dan taksi konvensional. Seringkali ketika sedang berjalan menyusuri kota saya ditawari naik ojek oleh abang-abang di pinggir jalan. Ketika hendak menuju Pelabuhan Waibalun, saya juga menggunakan jasa ojek konvensional yang tarifnya tentu jauh lebih mahal dibanding ojek online.Â
Di situ saya berpikir, moda transportasi di kota ini sungguh terbatas. Jika sekarang saja harus menggunakan jasa ojek atau taksi konvensional dengan harga yang cukup menguras dompet di masa sekarang, bagaimana dengan moda transportasi di masa lampau.Â
Transportasi bukan hanya menjadi roda penggerak ekonomi saja. Lebih dari itu, transportasi bisa sangat membantu di berbagai bidang, salah satunya adalah bidang kesehatan.
***
Namanya Mansetus Kalimantan Balawala. Dia berasal Desa Tagawiti, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Bagi sebagian orang namanya terdengar asing.
Namun di Kabupaten Flores Timur, dia dianggap sebagai pahlawan atas jasanya yang menggagas Ambulans Motor. Sebuah gagasan sederhana yang menyelamatkan ribuan nyawa.Â
Berawal pada keresahannya pada 2000 silam, dimana dia mendapati sebuah data kematian anak dan ibu di Flores Timur yang cukup tinggi. Penyebabnya adalah pertolongan yang terlambat pada kasus kelahiran emergensi, atau yang disertai pendarahan hebat (eklamsia).Â
Sulitnya akses transportasi serta infrastruktur jalan yang belum memadai menjadi alasan terlambat datangnya pertolongan tersebut. Satu-satunya kendaraan yang bisa digunakan saat itu hanyalah truk yang disulap jadi kendaraan penumpang.Â
Sayangnya truk ini hanya beroperasi seminggu sekali di hari pasaran yang berlangsung di pusat kota kecamatan. Apabila ada pasien sakit dan perlu segera mendapat pertolongan, dia tidak bisa dibawa segera hari itu. Pasien harus menunggu hari pasaran.Â
Jelasnya bila pasien sakit di hari Kamis, sementara truk beroperasi hari Rabu, artinya dia harus menunggu seminggu untuk bisa ke puskesmas di kota kecamatan.
Alat transportasi sangat langka, hanya sebagian penduduk memiliki kendaraan motor. Ojek motor memang ada, namun ongkosnya sangat mahal bila dibandingkan dengan biaya berobat.Â
Pada saat itu, tenaga kesehatan seperti bidan memang belum mendapat fasilitas transportasi, terlebih lagi jika belum menyandang status PNS. Keterbatasan bantuan dari pemerintah dan instasi setempat menjadi kendala.Â
Padahal bidan adalah salah satu ujung tombak untuk kesehatan masyarakat di pelosok desa. Jika saja bidan-bidan desa ini diberi akses dan kemampuan tambahan, niscaya angka kematian ibu dan anak saat melahirkan bisa ditekan, pikir Mansetus kala itu.Â
Dari keresahan atas apa yang terjadi di tanah kelahirannya itulah, terbesit ide untuk menghadirkan ambulans motor. Menurut Mansetus, motor lebih fleksibel dalam menerobos wilayah geografis Flores Timur dengan kondisi panas dan berdebu saat kemarau dan becek serta berlumpur bila musim penghujan.Â
Motor juga dianggap lebih gesit dalam menjangkau desa-desa di pelosok yang jauhnya berpuluh kilometer dari kota kecamatan. Motor juga lebih mudah diangkut naik turun perahu apabila harus melewati perairan.Â
Melalui organisasi Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) dan bertindak sebagai ketua, Mansetus pun mencari donatur hingga akhirnya bertemu dengan Simon Millward, seorang traveler asal Inggris yang sudah berkelana ke sejumlah negara sekaligus melakukan penggalangan dana untuk disumbangkan bagi kalangan tidak mampu.Â
Pada 2002, Millward menyumbangkan 11 sepeda motor sebagai 'modal awal' Ambulans Motor, sebuah moda tranportasi sepeda motor untuk bidan dan tenaga kesehatan desa agar semakin maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.Â
Dengan sistem pinjam-pakai, sepeda motor tersebut juga harus diservis secara berkala agar tetap prima dan siap digunakan selama 24 jam. Mansetus juga memberikan pelatihan dasar montir bagi pemegang sepeda motor agar bisa menangani sendiri motornya bila terjadi kerusakan kecil.Â
Setelah bertahun-tahun, program Ambulans Motor ini membuahkan hasil. Banyak warga yang dulu kesulitan mengakses fasilitas kesehatan kini terbantu dengan adanya Ambulans Motor. Jarak puluhan kilometer yang sulit ditempuh oleh kedaraan roda empat bisa ditempuh lebih cepat dengan Ambulans Motor.Â
Kasus kematian ibu dan bayi yang tinggi sejak tahun 2000 silam juga dapat ditekan. Bahkan pada 2015 kasus kematian ibu dan bayi saat melahirkan mencapai angka nol!
Kini Mansetus masih aktif dalam pelayanan kesehatan. Dia aktif turun lapangan untuk kegiatan penyuluhan, posyandu, pemeriksaan ibu hamil dan bayi, imunisasi, serta mendistribusikan obat-obatan dengan menggunakan sepeda motor.
YKS pun kini juga bergerak di berbagai macam bidang selain Ambulans Motor, seperti menggalang dana untuk bantuan bencana alam, dan juga menyediakan Ambulans Air berbentuk perahu karena di NTT banyak kepulauan yang didiami oleh warga sehingga sangat dibutuhkan sebagai moda transportasi guna menunjang fasilitas kesehatan.Â
Karena peran dan deikasinya inilah Mansetus Kalimantan Balawala mendapatkan apresiasi (Semangat Astra Terpadu Untuk) SATU Indonesia Awards 2010 yang merupakan wujud apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan dan Teknologi.Â
***
Aku berdiri di geladak kapal, menatap kota Larantuka untuk terakhir kalinya sebelum bertolak ke Kupang. Pertemuan Mansetus dan Millward bukanlah kebetulan. Keduanya saling bersinergi dalam misi kemanusiaan.
Mansetus Balawala yang dulunya seorang wartawan, dan Simon Millward seorang traveler, mereka memiliki andil dalam memajukan bidang kesehatan di Flores Timur.Â
Menjadi traveler atau pengelana adalah jalan hidup yang saya pilih saat ini. Terbesit dalam pikiran bahwa saya tidak ingin perjalanan yang dilakukan bukan hanya untuk bersenang-senang saja. Ada rasa ingin membantu perekonomian warga sekitar.Â
Mungkin yang bisa saya lakukan saat ini selain mengenalkan alam Indonesia yang mempesona, saya bisa mempromosikan para pelaku usaha disekitarnya seperti guide, penyewaan kendaraan, homestay atau UMKM setempat.Â
Mungkin yang saya lakukan tidak sebesar Mansetus dan Millward, bidangnya pun berbeda. Tapi setidaknya mereka menginspirasi saya untuk melakukan beberapa hal kecil untuk membantu perekonomian warga sekitar. Ingatlah selalu bahwa hal besar justru berawal dari hal-hal yang kecil.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H