Jika ada film yang diadaptasi dari sebuah buku, novel atau utas viral, akan ada tiga tipe penonton. Penonton pertama adalah mereka yang membaca buku, novel atau utas viral, kemudian mengagumi bahkan mungkin memujanya.
Penonton kedua adalah tipikal penonton awam yang tidak tahu menahu dan tidak juga membaca buku, novel atau utas viral tersebut. Cukup jadi penonton konvensional atau asal nonton saja.
Sementara penonton ketiga adalah mereka yang membaca buku, novel dan utas viral, namun tetap menikmati film adaptasinya. Penonton tipe terakhir ini jumlahnya tidak banyak, lebih dominan kedua tipe penonton sebelumnya.
Ketika sebuah film berjudul Sewu Dino (2023) yang diadaptasi dari utas atau thread viral pemilik akun twitter Simpleman akhirnya tayang, penontonnya pun pecah jadi tiga kelompok tersebut. Bisa dibilang, saya menjadi penonton tipe ketiga.
Mengapa? Kendati sudah membaca utas tersebut, saya masih bisa menikmati sajian film besutan Kimo Stamboel yang diadaptasi dengan cukup baik dibanding KKN di Desa Penari (2022) yang juga diangkat dari utas penulis yang sama.
Sebenarnya cuplikan film Sewu Dino sudah diperkenalkan dalam sequence zero di post credit KKN di Desa Penari: Extended Version (2022). Cuplikan ini pula yang kita lihat dalam adegan pembuka Sewu Dino. Menariknya, sequence zero tersebut tidak ada dalam utas milik Simpleman.
Selayaknya film yang diadaptasi dari ribuan tulisan, tidak semuanya bisa dirangkum dalam tayangan berdurasi 1-2 jam saja. Sewu Dino bukan hanya mengadaptasi, tapi juga berimprovisasi dari segi pengembangan karakter, latar hingga plot cerita.
Meskipun demikian, Sewu Dino tidak melenceng dan tetap berada di pakemnya. Kebetulan saya baru sempat membaca utasnya ketika trailer film ini dirilis. Jadi masih fresh untuk menikmati Sewu Dino baik dalam cerita tulisan maupun adaptasi layar lebar.