Work From Home atau WFH adalah sebuah sistem kerja yang tidak mengharuskan karyawan untuk datang ke kantor dan tatap muka dengan pekerja lainnya, melainkan cukup melakukan pekerjaaannya dari rumah.
WFH menjadi tren baru imbas dari merebaknya virus corona dan pandemi Covid-19 dimana setiap orang harus menjaga jarak dan menghindari kerumunan atau keramaian.
Suasana kantor dengan ruangan tertutup dan dihuni oleh belasan bahkan puluhan orang tentu akan menjadikannya sebuah klaster penyebaran Covid-19. Tak heran jika banyak orang tertular atau positif dimana virusnya berasal dari klaster perkantoran.
Sejak pemerintah menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), WFH menjadi pilihan bagi beberapa perusahaan agar tetap beroperasional.
Sayangnya saat itu WFH dinilai tidak praktis dan tidak efisien. Ada banyak keluhan yang disampaikan oleh karyawan yang harus bekerja daring.Â
Mulai dari masalah teknis seperti terbatasnya fasilitas di rumah, internet yang tidak memadai, misinformasi dan miskomunikasi dengan atasan atau rekan kerja, sampai jam kerja yang tidak teratur.
Selain itu, WFH juga lekat dengan konotasi negatif seperti nganggur di rumah saja, kerjanya main komputer saja, atau cuti suka-suka karena tidak diawasi meski sebenarnya sedang bekerja secara remote.
Lambat laun, WFH yang sudah berjalan selama kurang lebih 2,5 tahun ini terus memperbaiki sistemnya. Para pekerja mulai nyaman dengan sistem kerja WFH karena banyak hal positif yang bisa didapat seperti jam kerja fleksibel, lebih dekat dengan keluarga, serta menghemat biaya pengeluaran seperti ongkos dan uang makan.
Sejak Presiden Joko Widodo mencabut PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) akhir 2022 silam, imbauan untuk bekerja dari rumah (WFH) sudah tidak lagi relevan. Banyak perusahaan yang meminta karyawannya untuk bekerja luring dan full WFO (Work From Office) seperti semula.Â
Layaknya aktivitas sebelum pandemi Covid-19 merebak, kita semua dihadapkan lagi dengan rutinitas bangun subuh, berangkat dan pulang berjejalan lagi, menghadapi kemacetan yang tak terhindarkan, dan pastinya tingkat stres yang makin meningkat.
Fenomena kembali WFO ini pula yang membuat para pekerja "anak muda" yang berasal dari Generasi Milenial dan Generasi Z membuat petisi dikembalikannya WFH! WFH yang dulunya dibenci kini malah makin dicintai.
Banyak pekerja yang mengeluhkan banyaknya waktu yang terbuang percuma di jalan jika tiap hari harus berangkat pulang-pergi ke kantor. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan mulai dari ongkos, uang bensin sampai uang makan.
WFO juga membuat para pekerja rentan stres dengan lingkungan kerja baru, persaingan dengan rekan kerja, serta target dan deadline menumpuk yang sejatinya bisa dihindari atau diminimalisir jika bekerja di rumah saja.
Fenomena ini sebenarnya biasa terjadi ketika manusia dipaksa untuk mengubah kebiasaannya yang sudah kadung nyaman. Sebenarnya tinggal bagaimana cara beradaptasinya saja dengan lingkungan dan rutinitas baru tersebut.
Pandemi memang mengubah sebagian atau seluruh pola hidup manusia. WFH hanyalah salah satu dari adaptasi kebiasaan baru ketika pandemi merebak.
Meski wabah virus saat ini sudah bisa dikendalikan, sebenarnya ada banyak kebiasaan baru yang bisa dipertahankan karena memiliki banyak nilai positif.Â
Salah satunya adalah metode pembayaran yang sudah cardless dan cashless dimana dulunya uang fisik dinilai menjadi salah satu media penyebaran virus corona.
Begitu pula dengan sistem kerja. Sebenarnya WFH bisa tetap dipertahankan karena menguntungkan bagi perusahaan dan dapat mengurangi biaya operasional.Â
Perusahaan tidak harus menyediakan tempat kerja, komputer, internet, listrik hingga makan siang. Selain itu, tingkat stres karyawan pun berkurang dan produktivitas kian meningkat.
Lalu bagaimana mengatasi perubahan dan adaptasi dari WFH ke WFO ini. Ada beberapa tips yang bisa digunakan dan sudah dipraktikan di beberapa kantor (menurut riset kecil-kecilan penulis ke beberapa kawan dan koleganya).
1. Mengkombinasikan antara WFH dan WFO.Â
Misalnya, 2 hari WFH dan 3 hari WFO tiap minggunya. Atau datang ke kantor seminggu sekali saja untuk sekedar meeting dan rapat tatap muka, selebihnya pekerjaan bisa dilakukan di rumah.
2. Memberi rewards, terutama jika kantor menerapkan WFO full.Â
Rewards bisa untuk karyawan yang tidak pernah telat, yang tidak pernah absen hingga yang rajin lembur. Reward bisa berupa materi uang, merchandise atau voucher.
3. Membagi divisi yang bisa full WFH dan yang masih harus WFO.Â
Dengan cara ini perusahaan juga bisa menghemat biaya operasional dan sistem WFO hanya untuk divisi-divisi yang pekerjaaannya tidak bisa diselesaikan hanya dari rumah.
Peradaban yang makin maju membuat pola hidup ikut berubah. Bekerja yang dulunya wajib ke kantor, harus bermacet-macetan dan menghadapi tekanan di lingkungan kerja kini mulai berganti dengan bekerja dari rumah, menghemat biaya ongkos dan makan, terhindar dari stres, serta kepuasan kinerja dan produktivitas ikut meningkat.
Work From Home sudah menjadi pola hidup dan kebiasaan baru yang memiliki banyak manfaat dan nilai positif. Tinggal bagaimana kebijakan perusahaan dalam menerapkan sistem kerja yang efektif dan efisien saja. Apakah tetap WFH atau pindah jadi full WFO.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H