Mungkin saja ada gerbong khusus bagi Si Kaya di mana Si Miskin tidak boleh menginjakkan kakinya di sana.Â
Kalaupun mereka terpaksa masuk di satu gerbong yang sama, mungkin saja Si Kaya akan mendapat prioritas tempat duduk meski dia tidak masuk dalam data penumpang peioritas pada umumnya (ibu hamil, disabilitas, lansia, dll).
Bagaimana dengan Si Miskin? Mungkin Si Miskin akan mendapat perlakuan berbeda. Mungkin saja dia harus antre 2-3 jam hanya demi memasuki peron kereta. Mungkin saja dia masih harus menunggu lama karena petugas akan memprioritaskan kereta untuk kaum berada.
Mungkin saja dia tidak diperbolehkan naik gerbong tertentu, dan mungkin saja juga tidak akan pernah merasakan empuknya kursi di KRL. Begitupun saat turun dari kereta, mereka akan masuk dalam skala prioritas terakhir.
Cerita di atas mungkin hanyalah pengandaian jika memang pemerintah kekeuh mempertahankan tarif kereta bagi Si Kaya dan Si Miskin. Yang jelas, baru berupa ide atau usul saja kebijakan ini sudah menimbulkan banyak polemik, pro dan kontra.
Bagaimana realisasinya nanti di lapangan? Bagaimana kita tahu apakah dia dari kelangan berada atau pas-pasan? Bagaimana kita tahu apakah skema subsidi silang ini tepat sasaran atau tidak?
Bagaimana jika nanti ada yang berpura-pura miskin demi mendapat subsidi atau harga murah? Jawabannya akan kita tahu jika Kemenhub dan PT. KAI sudah ketok palu.
Bagi saya pribadi, daripada menerapkan skema subsidi silang karena pemerintah sudah tak mampu mensubsidi dan terbebani dengan operasional KRL, lebih baik pukul rata saja kenaikan tarifnya.
Membedakan tarif untuk Si Kaya dan Si Miskin sama saja dengan menciderai nilai dari sila ke-5 Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Â
Apa lagi, perbedaan tarif sama saja dengan mendiskriminasi rakyat. Dan apakah perubahan tarif ini akan membuat Si Kaya tetap menggunakan KRL untuk aktivitasnya atau tidak?