Mohon tunggu...
Deny Oey
Deny Oey Mohon Tunggu... Administrasi - Creative Writer

Seorang pembelajar, pecinta alam dan penikmat makanan pedas. Sesekali mengkhatamkan buku dan membagikan pemikirannya dalam tulisan. Beredar di dunia maya dengan akun @kohminisme (IG) dan @deNocz (Twitter).

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Bohemian Rhapsody", Biopik Tanpa Arah dan Tujuan

7 November 2018   08:48 Diperbarui: 7 November 2018   15:53 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Find me somebody to love..
Find me somebody to love..
Find me somebody to love..
Can anybody find me somebody to love?

Sebuah lagu berjudul "Somebody to love" didendangkan, diikuti dengan langkah seorang pria yang bersiap tampil di panggung, tepat di hadapan puluhan ribu penonton dan jutaan pasang mata di layar televisi. 

Itulah opening scene dari sebuah biopik yang menceritakan perjalanan band legendaris serta vokalisnya yang eksentrik nan flamboyan, Freddie Mercury dan Queen.

Setelah proses panjang dan terjadi perubahan konsep, skrip, aktor utama, bahkan kursi sutradara yang sempat panas dan mengalami pergantian di tengah masa produksi, film biopik berjudul Bohemian Rhapsody akhirnya hadir untuk para penonton, penggemar Queen, bahkan pemuja "Sex God" bernama asli Farrokh Bulsara itu.

Namun, apakah proses selama delapan tahun (sejak ide biopik ini dicetuskan pada 2010) berhasil mengobati rasa rindu para penggemar, atau menggambarkan kehidupan serta perjalanan band asal Inggris ini? Penonton bisa menilainya sendiri setelah menyaksikannya.

***

Queen (sumber: www.dailymail.co.uk)
Queen (sumber: www.dailymail.co.uk)
Bohemian Rhapsody bercerita tentang Farrokh Bulsara (Rami Malek), seorang imigran keturunan Parsi yang memiliki bakat dan ketertarikan dalam bidang musik. 

Pertemuannya dengan Brian May (Gwilym Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy), membawanya ke dalam perjalanan sebagai musisi yang menentang stereotip. Bersama John Deacon (Joseph Mazzello), mereka berempat kemudian membentuk grup band yang melegenda hingga kini, Queen.

Tapi bukan berarti perjalanan mereka selalu mulus. Meski dikenal sebagai band yang menentang tradisi, menabrak semua aturan konvensional baik dalam musikalitas sampai selera fashion sang frontman yang nyeleneh, Queen tak luput dari konflik internal.

Apalagi masalahnya kalau bukan star syndrome yang diidap oleh Farrokh yang kini mengubah namanya menjadi Freddie Mercury, ditambah gaya hidupnya yang tak terkontrol serta aroganisme dan egonya yang tinggi. Masalah lain muncul ketika Freddie mulai merasakan kesepian, ditambah gejolak jiwanya akan kelainan seksual yang dirasakannya.

We will rock You! (sumber: www.usatoday.com)
We will rock You! (sumber: www.usatoday.com)
Namun, dibalik itu semua Queen tetaplah grup band legendaris dengan lagu-lagu ikonik dan revolusioner. Konser "Live Aid" pada 1985 yang menjadi salah satu konser terbesar dalam sejarah menjadi tanda kemenangan Queen yang memberikan inspirasi dan warisan berharga bagi setiap orang, para pemimpi dan pecinta musik hingga kini.

***

Dangkal!

Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana buruknya Bohemian Rhapsody. Dengan materi band legendaris yang setiap lagunya adalah masterpiece dan hits sepanjang masa, bahkan ditambah sosok Freddie Mercury yang kontroversial sekaligus loveable, film ini dibuat dengan sangat cetek dan standar. Sangat mengecewakan!

Boleh dibilang, biopik ini seperti tak punya arah dan tujuan. Jika ingin menceritakan perjalanan grup band Queen, penggambarannya kurang dalam. Sosok May, Taylor dan Deacon hanya seperti sebuah "tempelan". Kalaupun ingin mengisahkan kehidupan Freddie, mereka hanya mampu menyentuh bagian "permukaan"-nya saja.

Memang sulit mengatur durasi jika memang ingin menceritakan kehidupan dan perjalanan empat orang sekaligus (meski ketiga lainnya hanya tempelan). Wajar saja bila Sacha Baron Cohen yang awalnya diplot sebagai pemeran utama dan ingin biopik ini mengisahkan tentang Freddie Mercury saja, mundur karena perbedaan visi.

Queen (sumber: www.collider.com)
Queen (sumber: www.collider.com)
Satu jam pertama terasa sangat terburu-buru dengan pace cepat yang berganti adegan demi adegan. Satu jam berikutnya juga tak kalah berantakan. Penonton seperti "dipaksa" melihat Queen yang berjuang dari nol sampai sukses tanpa emosi sama sekali.

Penggambaran kelainan seksual Freddie juga tak diceritakan secara gamblang. Yah, itu juga karena lembaga sensor kita yang memotong adegan tabu tersebut meski sejatinya itu akan menguatkan motif dan latar belakang cerita. 

Jadilah penonton kembali dipaksa menelan "mentah-mentah" kenyataan bahwa Freddie Mercury seorang gay, terutama penonton dari generasi yang tidak mengenal Queen.

Dosa lain dari Bohemian Rhapsody adalah banyaknya kesalahan faktual, atau cerita yang tidak akurat meski sudah dilabeli "based on a true story". Contohnya, Freddie adalah vokalis kedua grup band Smile (cikal bakal Queen), bukan pengganti vokalis utama seperti yang digambarkan di film.

Biseksual (sumber: www.mirror.co.uk)
Biseksual (sumber: www.mirror.co.uk)
John Deacon bahkan tidak pernah tergabung dalam band tersebut, setidaknya sebelum mereka berganti nama menjadi Queen. Deacon menjadi anggota grup setelah Queen berkali-kali mengaudisi pemain bass. Sementara di film, Deacon seperti hadir begitu saja.

Contoh lain, dan beberapa di antaranya sangat fatal, adalah tak ada cerita awal mula terbentuknya Queen serta alasan mengapa mereka menggunakan nama tersebut (hey, bukankah ini film tentang "Queen"?). 

Lagu Bohemian Rhapsody yang cerita pembuatannya sangat singkat, bahkan tidak dinyanyikan sampai selesai meski namanya sudah didompleng untuk judul film. Hampir lupa, lagu ini awalnya bukan berjudul Bohemian Rhapsody, tapi itu juga tak dijelaskan sama sekali.

Selain itu, diceritakan jelang persiapan konser Live Aid, Freddie menyadari dirinya telah mengidap AIDS. Faktanya, Freddie baru dinyatakan positif mengidap AIDS dua tahun setelah Live Aid, tepatnya pada 1987.

Masih banyak kesalahan faktual yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Apa mau dikata, Bohemian Rhapsody tetaplah produk Hollywood yang "harus" dilengkapi dengan bumbu drama khasnya. Dan mereka berusaha "membungkusnya" dengan sebaik mungkin, meski rasanya sangat mengecewakan.

The King, or The Queen? (sumber: www.express.co.uk)
The King, or The Queen? (sumber: www.express.co.uk)
Film ini hanya tertolong oleh dua hal: lagu-lagu Queen dan talenta seorang Rami Malek. Untuk lagu-lagu Queen, rasanya tak ada yang lebih indah dibanding bernostalgia mendengarkan lagu "Crazy Little Thing Called Love", "Killer Queen", "Radio Ga Ga", "Hammer to Fall", "I Want to Break Free", "We Will Rock You", "Under Pressure", "Don't Stop Me Now" sampai "Another One Bites the Dust".

Jangan lupakan "We Are The Champions" yang menjadi puncak dan konklusi epik dari film ini. Suasana konser Live Aid dengan sound menggema membuat penonton seolah berada di Wembley, ikut bernyanyi bersama Freddie, merasakan atmosfernya dan menitikkan air mata. 

Berkat lagu-lagu Queen yang legendaris, Bohemian Rhapsody tertolong dari label film datar tanpa emosi. Bayangkan bagaimana jadinya jika biopik ini menceritakan grup band lain yang tidak setenar Queen.

Kedua, penampilan Rami Malek sebagai Freddie Mercury layak diacungi jempol. Meski secara fisik tidak menyerupai Freddie (jika dibandingkan Lee, Hardy dan Mazzello yang seperti doppelganger dari May, Taylor dan Deacon), Malek berhasil menerjemahkan rasa kesepian, kesedihan, ambisius dan frustrasi dari sosok Dewa Rock yang mencoba tetap tegar tersebut.

Demi totalitas memerankan Freddie, Malek sampai berlatih musik, vokal dan melatih gerak tubuhnya agar secara gestur, mimik dan gaya bicaranya menyerupai sosok rockstar yang beraksi di atas panggung. Dengan gigi prostetik serta kumis tebalnya, sosok Freddie Mercury seperti hidup kembali.

Freddie and Mary (sumber: www.glamour.com)
Freddie and Mary (sumber: www.glamour.com)
Lupakan fisik dan wajah Malek yang tidak mirip dengan Freddie. Dia berhasil memerankan sosok yang tabu dan intim itu dengan sangat baik. Persetan dengan kemiripan fisik! Ashton Kutcher saja gagal memerankan Steve Jobs meski cukup identik, dan rasanya Michael Fassbender melakukannya dengan lebih baik.

Karakter lain yang mencuri perhatian adalah Lucy Boynton. Meski terkesan datar di awal, namun chemistry yang dibangun bersama Rami Malek cukup menyayat-nyayat hati dan mengaduk-aduk emosi penonton.

Ditambah backsound lagu "Love of My Live" yang dinyanyikan di beberapa adegan, kita dikenalkan pada sosok cinta sejati Freddie Mercury.

Kredit juga diberikan pada Joseph Mazzello yang meski hanya mendapatkan porsi sedikit, namun menjadi scene stealer. 

Sosok John Deacon yang pendiam dan kalem dibawakan dengan sangat apik. Tambahan wig afronya juga mengingatkan kita akan Deacon muda. Ada pula Mike Myers yang memberikan easter eggs pada penampilannya di Wayne's World di salah satu scene.

Live Aid (sumber: www.dailymail.co.uk)
Live Aid (sumber: www.dailymail.co.uk)
Terakhir, bagian terbaik dari Bohemian Rhapsody tentu saja penggambaran dan suasana Live Aid yang dibuat seidentik mungkin dengan aslinya, mulai dari durasi 20 menit yang dibawakan oleh Queen sampai gelas Pepsi yang ditaruh di atas piano. Dan meski "terpaksa" ditulis pada credit sebagai sutradara, inilah salah satu set termegah dari film besutan Brian Singer.

Bohemian Rhapsody memang jauh dari kata sempurna. Bohemian Rhapsody juga bukanlah tempat yang tepat untuk mengenal sosok Freddie Mercury yang ikonik, eksentrik dan kontroversial itu. 

Bohemian Rhapsody hanyalah tempat dimana setiap orang akan bernostalgia dengan warisan seorang Freddie Mercury yang bukan hanya menginspirasi, tetapi membangunkan setiap orang dari tidur demi mewujudkan mimpinya. Yes, Freddie Mercury adalah legenda. Bukan. Queen adalah legenda.

"You're a legend, Fred"

"We're all legends"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun