Find me somebody to love..
Find me somebody to love..
Find me somebody to love..
Can anybody find me somebody to love?
Sebuah lagu berjudul "Somebody to love" didendangkan, diikuti dengan langkah seorang pria yang bersiap tampil di panggung, tepat di hadapan puluhan ribu penonton dan jutaan pasang mata di layar televisi.Â
Itulah opening scene dari sebuah biopik yang menceritakan perjalanan band legendaris serta vokalisnya yang eksentrik nan flamboyan, Freddie Mercury dan Queen.
Setelah proses panjang dan terjadi perubahan konsep, skrip, aktor utama, bahkan kursi sutradara yang sempat panas dan mengalami pergantian di tengah masa produksi, film biopik berjudul Bohemian Rhapsody akhirnya hadir untuk para penonton, penggemar Queen, bahkan pemuja "Sex God" bernama asli Farrokh Bulsara itu.
Namun, apakah proses selama delapan tahun (sejak ide biopik ini dicetuskan pada 2010) berhasil mengobati rasa rindu para penggemar, atau menggambarkan kehidupan serta perjalanan band asal Inggris ini? Penonton bisa menilainya sendiri setelah menyaksikannya.
***
Pertemuannya dengan Brian May (Gwilym Lee) dan Roger Taylor (Ben Hardy), membawanya ke dalam perjalanan sebagai musisi yang menentang stereotip. Bersama John Deacon (Joseph Mazzello), mereka berempat kemudian membentuk grup band yang melegenda hingga kini, Queen.
Tapi bukan berarti perjalanan mereka selalu mulus. Meski dikenal sebagai band yang menentang tradisi, menabrak semua aturan konvensional baik dalam musikalitas sampai selera fashion sang frontman yang nyeleneh, Queen tak luput dari konflik internal.
Apalagi masalahnya kalau bukan star syndrome yang diidap oleh Farrokh yang kini mengubah namanya menjadi Freddie Mercury, ditambah gaya hidupnya yang tak terkontrol serta aroganisme dan egonya yang tinggi. Masalah lain muncul ketika Freddie mulai merasakan kesepian, ditambah gejolak jiwanya akan kelainan seksual yang dirasakannya.