"Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya." - Bung Karno
Hari ini, tepat 73 tahun silam, bangsa Indonesia telah meraih apa yang mereka cita-citakan setelah terbelenggu dalam perbudakan dan penjajahan selama 3,5 abad, KEMERDEKAAN! Apakah mudah meraihnya? Jelas tidak. Dibutuhkan keringat, tangisan, darah dan air mata untuk bisa meraih kebebasan tersebut. Kemerdekaan yang maknanya kian pudar beberapa tahun terakhir ini.
Pada Minggu (12/8/2018) lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti "Napak Tilas Rengasdengklok" demi menelusuri jejak sejarah di detik-detik menuju kemerdekaan. Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, peristiwa rengasdengklok sangat erat kaitannya dengan kemerdekaan.
Beruntunglah saya akhirnya berkesempatan mengunjungi tempat yang menjadi saksi bisu sejarah tersebut berkat inisiasi Museum Perumusan Naskah Proklamasi (MUNASPROK) dan Komunitas Jelajah Budaya. Disini saya bisa merasakan kembali jiwa patriotisme para pejuang untuk mendeklarasikan kemerdekaan serta mengibarkan Sang Saka Merah Putih.
***
Diawali dengan kata sambutan dari pihak Munasprok, Kartum Setiawan sebagai ketua Komunitas Jelajah Budaya serta tour guide, membuka acara Napak Tilas Rengasdengklok. Sejarawan Rushdy Hoesein juga ikut serta dan membimbing peserta untuk memahami seluk beluk sejarah dengan semangat berapi-api.
Sekedar informasi, Munasprok di kawasan Menteng ini juga menjadi salah satu saksi bisu sejarah kemerdekaan RI. Rumah yang dulunya menjadi kediaman Laksamana Maeda ini digunakan untuk rapat perumusan teks proklamasi bersama PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan beberapa pemuda.
Di museum ini kita bisa melihat ruangan yang digunakan untuk rapat, ruangan dimana Laksamana Maeda menerima Sukarno, Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo sebagai tamu serta ruangan dimana ketiganya merumuskan naskah proklamasi. Ruangan juga lengkap dengan kursi dan meja serta diorama ketiga negarawan tersebut.
Ada pula ruangan kecil di bawah tangga, tempat Sayuti Melik mengetik teks proklamasi yang sebelumnya ditulis tangan oleh Sukarno beserta dengan diorama bersama BM Diah di sampingnya. Tak ketinggalan, piano di depan ruangan juga masih kokoh berdiri, dimana Bung Karno dan Bung Hatta membubuhkan tanda tangan di atasnya tepat setelah naskah selesai diketik.
Saat itu, Jepang sudah menyerah tanpa syarat pada sekutu. Namun berita kekalahannya masih simpang siur, apalagi Jepang juga menutup-nutupinya. Adalah para pemuda yang secara sembunyi-sembunyi mendengar berita kekalahan Jepang lewat siaran radio luar negeri.