Mohon tunggu...
Deny Oey
Deny Oey Mohon Tunggu... Administrasi - Creative Writer

Seorang pembelajar, pecinta alam dan penikmat makanan pedas. Sesekali mengkhatamkan buku dan membagikan pemikirannya dalam tulisan. Beredar di dunia maya dengan akun @kohminisme (IG) dan @deNocz (Twitter).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Wonderstruck", Antara New York dan Kesunyian

27 Januari 2018   20:53 Diperbarui: 28 Januari 2018   13:08 1748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melihat bintang (sumber: www.time.com)

"I'm wonderstruck, blushing all the way home.."

Pertama kali saya mendengar kata "wonderstruck" adalah lewat lagu berjudul "Enchanted" yang ditulis dan dinyanyikan oleh Taylor Swift. Lagu ini menceritakan rasa kagum si gadis blonde pada seseorang (disebut-sebut sebagai ekspresi kekaguman Taylor pada Adam Young a.k.a Owl City). Wonderstruck sendiri memiliki banyak makna, seperti kekaguman, terpesona, rasa penasaran yang menggebu atau kejutan yang menakjubkan.

Kembali ke acara Nobar KOMiK Community yang dihelat di Cinemaxx Plaza Semanggi, Jumat (26/1/2018), kali ini giliran film bergenre drama misteri berjudul "Wonderstruck" yang ditonton bersama teman-teman Kompasianer pecinta film. Bukan suatu kebetulan saya akhirnya dapat memaknai lagu Taylor Swift, atau menemukan benang merah dengan film tersebut.

***

Diadaptasi dari novel karangan Brian Selznick, Wonderstruck boleh dikatakan hampir meng-copy-paste semua plot dalam novel ke dalam layar lebar. Bedanya, Todd Haynes sebagai sutradara berusaha mempermudah penonton dalam menyimak dua alur cerita yang berjalan beriringan, tak seperti novelnya dimana pembaca awalnya akan kebingungan mencerna alur ceritanya.

Berlatar tahun 1977, Ben yang tinggal bersama bibinya mengalami kecelakaan yang membuatnya tuli. Awal mula kecelakaan tersebut adalah ketika Ben berusaha mencaritahu keberadaan ayahnya yang tak pernah diceritakan oleh sang ibu. Ben yang mulai menemukan titik terang tentang sosok ayah itu akhirnya kabur dari Minnesota menuju New York.

Di sisi lain, Rose si gadis tuna rungu dan tuna wicara yang tinggal di New Jersey pada tahun 1927 mengidolakan sosok Lillian Mayhew, aktris terkenal pada masanya. Kekesalan pada sikap ayahnya yang otoriter membuat Rose pergi ke New York untuk bertemu sosok idolanya tersebut. 

Lalu, bagaimana kelanjutan kisah Ben dan Rose? Akankah mereka menemukan apa yang selama ini mereka cari di New York? Dan apakah perjalanan, atau lebih tepatnya pelarian tersebut, memberikan mereka jawaban?

***

Dengan dua alur cerita berjarak 50 tahun dan dinarasikan secara bersamaan, Haynes berusaha memberikan detil untuk membedakan keduanya. Misalnya gambar hitam putih kala menceritakan kisah Rose, atau latar retro tahun 70-an lengkap dengan segala fashion, gaya rambut, musik dan pernak-perniknya dalam perjalanan hidup Ben.

Ben and Rose (sumber: www.ign.com)
Ben and Rose (sumber: www.ign.com)
Film ini berusaha menangkap makna tentang kebisuan dan kesunyian. Misalnya saat adegan dimana Rose menonton film 'bisu' yang diperankan oleh Lillian Mayhew serta adegan-adegan yang mengingatkan kita akan film bisu yang hanya berisikan alunan musik dan mimik serta bahasa tubuh. 

Sementara itu Ben yang baru merasakan tuli digambarkan dengan kesunyian dan tanpa kebisingan meski disekitarnya terlihat sangat berisik, seolah penonton merasakan apa yang Ben rasakan.

Sebagai tontonan berdurasi dua jam, Wonderstruck mencoba memberikan makna dari kata-kata itu sendiri. Bagaimana "rasa kagum" Rose terhadap Lillian Mayhew yang "mempesona", "rasa penasaran menggebu" Ben akan sosok ayahnya, ditambah ending kedua plot cerita yang memberikan "kejutan yang menakjubkan".

Sayangnya, ada beberapa plothole atau sedikit missed dari film ini. Pertama, tidak dijelaskan mengapa Ben tinggal bersama bibinya. Ben sebenarnya adalah yatim piatu. Ia tidak pernah bertemu ayahnya, dan ibunya baru saja meninggal karena kecelakaan (yang hanya diceritakan lewat secarik potongan berita di koran).

Kedua, alur flashback yang melompat-lompat. Ini bukan perpindahan alur cerita dari Ben ke Rose, contohnya kisah Ben bersama ibunya yang sedikit diceritakan di awal, namun berpindah dengan kasar ke adegan Ben bersama sepupunya yang membuat penonton bingung (perhatikan kembali poin pertama).

Ketiga, tempo yang sedikit lambat. Satu jam pertama penonton dibuat bingung dan harus 'mencerna' kedua plot cerita. Beberapa adegan yang bertele-tele malah membuat penonton bosan dan jenuh. Meski 30 menit terakhir Wonderstruck mulai mencapai klimaks namun terasa kurang mengigigit.

Rose in New York (sumber: www.collider.com)
Rose in New York (sumber: www.collider.com)
Kendati demikian, bukan berarti Wonderstruck penuh kekurangan. Haynes berhasil menyajikan sebuah "film bisu" dalam kesunyian serta New York era klasik (seperti film King Kong jadul). Kisah Rose yang bisu dimana gestur tubuh serta mimik wajah dengan musik dramatisir menjadi bumbu utama seolah mempertegas latar tahun 1920-an saat industri film bisu sedang masif, ditambah scene saat Rose menonton film bisu di bioskop. Sementara pada kisah Ben, background New York tahun 70-an juga ditampilkan lengkap dengan fashion, potongan rambut, mobil-mobil vintage, hippies serta cimeng-nya yang khas.

Beruntung, Wonderstruck memiliki Julianne Moore yang kemampuan aktingnya tak perlu diragukan, sementara Michelle Williams hanya memiliki porsi yang sangat sedikit. Namun kredit harus diberikan kepada Millicent Simmonds sebagai pemeran Rose yang berhasil menggambarkan perasaan senang, sedih, marah, kecewa dan ketakutan meski hanya melalui ekspresi wajah saja.

Cerita Wonderstruck sendiri diakhiri dengan benang merah dari kedua plot, dimana Ben akhirnya bertemu dengan Rose tua yang disebut sebagai "kejutan yang menakjubkan", pertemuan yang hampir menyihir keduanya.

***

"Your eyes whispered "have we met?"

Across the room your silhouette, starts to make it's way to me..

The playful conversation starts,

Counter all your quick remarks like passing notes in secrecy..

All I can say is it was enchanting to meet you.."

Kembali pada lagu gubahan Taylor Swift. Di sela-sela saat menulis artikel ini saya mencoba merasakan dan memaknai setiap liriknya yang ternyata nyambung dengan film Wonderstruck.

Melihat bintang (sumber: www.time.com)
Melihat bintang (sumber: www.time.com)
Rose dan Ben bukan hanya sekedar mencari jawaban. Keduanya mencoba mencari sesuatu yang membuat mereka merasa 'hidup'. Wonderstruck memang lebih cocok sebagai film bergenre drama misteri meski dapat berkamuflase sebagai tontonan keluarga lengkap dengan pesan moralnya yang eksplisit. 

New York yang hingar bingar, di tengah kesunyian dan sebuah pencarian, serta jawaban dari pertanyaan itu akhirnya menuntun kita dalam sebuah kejutan yang tak terduga.

Jika ingin mencari tontonan anti mainstream, bolehlah memasukkan Wonderstruck ke dalam list. Namun jika hiburan yang ingin Anda cari, sebaiknya tonton saja kisah anak muda pemberontak yang melawan penguasa dan zombie.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun