Mohon tunggu...
Deny Oey
Deny Oey Mohon Tunggu... Administrasi - Creative Writer

Seorang pembelajar, pecinta alam dan penikmat makanan pedas. Sesekali mengkhatamkan buku dan membagikan pemikirannya dalam tulisan. Beredar di dunia maya dengan akun @kohminisme (IG) dan @deNocz (Twitter).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Wonderstruck", Antara New York dan Kesunyian

27 Januari 2018   20:53 Diperbarui: 28 Januari 2018   13:08 1748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rose in New York (sumber: www.collider.com)

Sementara itu Ben yang baru merasakan tuli digambarkan dengan kesunyian dan tanpa kebisingan meski disekitarnya terlihat sangat berisik, seolah penonton merasakan apa yang Ben rasakan.

Sebagai tontonan berdurasi dua jam, Wonderstruck mencoba memberikan makna dari kata-kata itu sendiri. Bagaimana "rasa kagum" Rose terhadap Lillian Mayhew yang "mempesona", "rasa penasaran menggebu" Ben akan sosok ayahnya, ditambah ending kedua plot cerita yang memberikan "kejutan yang menakjubkan".

Sayangnya, ada beberapa plothole atau sedikit missed dari film ini. Pertama, tidak dijelaskan mengapa Ben tinggal bersama bibinya. Ben sebenarnya adalah yatim piatu. Ia tidak pernah bertemu ayahnya, dan ibunya baru saja meninggal karena kecelakaan (yang hanya diceritakan lewat secarik potongan berita di koran).

Kedua, alur flashback yang melompat-lompat. Ini bukan perpindahan alur cerita dari Ben ke Rose, contohnya kisah Ben bersama ibunya yang sedikit diceritakan di awal, namun berpindah dengan kasar ke adegan Ben bersama sepupunya yang membuat penonton bingung (perhatikan kembali poin pertama).

Ketiga, tempo yang sedikit lambat. Satu jam pertama penonton dibuat bingung dan harus 'mencerna' kedua plot cerita. Beberapa adegan yang bertele-tele malah membuat penonton bosan dan jenuh. Meski 30 menit terakhir Wonderstruck mulai mencapai klimaks namun terasa kurang mengigigit.

Rose in New York (sumber: www.collider.com)
Rose in New York (sumber: www.collider.com)
Kendati demikian, bukan berarti Wonderstruck penuh kekurangan. Haynes berhasil menyajikan sebuah "film bisu" dalam kesunyian serta New York era klasik (seperti film King Kong jadul). Kisah Rose yang bisu dimana gestur tubuh serta mimik wajah dengan musik dramatisir menjadi bumbu utama seolah mempertegas latar tahun 1920-an saat industri film bisu sedang masif, ditambah scene saat Rose menonton film bisu di bioskop. Sementara pada kisah Ben, background New York tahun 70-an juga ditampilkan lengkap dengan fashion, potongan rambut, mobil-mobil vintage, hippies serta cimeng-nya yang khas.

Beruntung, Wonderstruck memiliki Julianne Moore yang kemampuan aktingnya tak perlu diragukan, sementara Michelle Williams hanya memiliki porsi yang sangat sedikit. Namun kredit harus diberikan kepada Millicent Simmonds sebagai pemeran Rose yang berhasil menggambarkan perasaan senang, sedih, marah, kecewa dan ketakutan meski hanya melalui ekspresi wajah saja.

Cerita Wonderstruck sendiri diakhiri dengan benang merah dari kedua plot, dimana Ben akhirnya bertemu dengan Rose tua yang disebut sebagai "kejutan yang menakjubkan", pertemuan yang hampir menyihir keduanya.

***

"Your eyes whispered "have we met?"

Across the room your silhouette, starts to make it's way to me..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun