Mohon tunggu...
Deny Oey
Deny Oey Mohon Tunggu... Administrasi - Creative Writer

Seorang pembelajar, pecinta alam dan penikmat makanan pedas. Sesekali mengkhatamkan buku dan membagikan pemikirannya dalam tulisan. Beredar di dunia maya dengan akun @kohminisme (IG) dan @deNocz (Twitter).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kampung Tugu, Kisah Kaum Mardijkers, hingga Egg Tart Lokal

22 Januari 2018   16:35 Diperbarui: 23 Januari 2018   14:37 2978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Portuguese egg tart (sumber: Dokumentasi Pribadi)

Masih ingat bangsa pertama yang menduduki dan menjajah Indonesia? Portugis! Kedatangan bangsa dari Eropa barat itu adalah untuk mencari dan menguasai rempah-rempah di nusantara. Seiring melemahnya pengaruh dan kekalahan Portugis di Semenanjung Melayu pada abad ke-17, bangsa Portugis kemudian menjadi budak tawanan perang dan diasingkan. Salah satunya berasal dari Malaka yang dibuang ke Batavia.

Di Batavia, mereka tinggal di dekat cilincing yang kini dikenal sebagai kawasan semper dan tugu koja yang disebut Kampung Tugu. Setelah menjadi budak, Belanda membebaskan mereka dengan syarat pindah ke agama Protestan (semula mereka beragama Katolik) dan merubah nama menjadi lebih londo. Tawaran tersebut akhirnya diterima oleh masyarakat tugu sehingga mereka disebut mardijkers, atau orang-orang yang merdeka.

Kaum Mardijkers, Kaum yang Merdeka

Itulah sekelumit sejarah terbentuknya kampung tugu yang mayoritas dihuni oleh warga keturunan Portugis dan menganut agama Kristen Protestan. Mereka juga bagian dari suku betawi karena sudah lama menetap di ibu kota dan kerap disebut betawi kristen.

Salah satu rumah tua (sumber: Dokumentasi Pribadi)
Salah satu rumah tua (sumber: Dokumentasi Pribadi)
Di era kemerdekaan, warga kampung tugu sempat menjadi sasaran warga yang anti penjajah. Namun karena hubungan yang baik dengan warga di sekitarnya yang melindungi dan menyebut bahwa warga tugu adalah "orang-orang kita, orang Indonesia juga", mereka selamat dari ancaman.

Dalam sejarahnya, warga Portugis yang dibuang ke tugu bukanlah orang Portugis asli. Mayoritas adalah campuran hasil perkawinan dengan wanita lokal dari bekas koloni portugis seperti India, Sri Lanka dan Malaka. Jadi mereka sebenarnya adalah blasteran atau campuran. Karena itu keturunannya yang masih menetap di tugu memiliki perawakan yang lebih mirip orang Ambon atau orang timur, namun sebagian masih ada yang bermata biru.

Kaum yang merdeka itu ada yang masih tinggal di tugu, ada juga yang telah pindah ke kota lain bahkan ke luar negeri. Dari kaum mardijkers inilah terbentuk suatu tradisi dan kebudayaan khas, misalnya dalam seni musik dan kuliner.

Asal mula Keroncong Tugu

Siapa sangka salah satu jenis musik keroncong yang populer di tanah air berasal dari Jakarta, tepatnya di kampung tugu. Awal mula musik keroncong sendiri tak lepas dari peristiwa diasingkannya mereka ke Tugu yang dulu masih berupa hutan dan rawa.

Terbiasa hura-hura di Malaka dan tidak memiliki hiburan sejak diasingkan, mereka membuat alat musik dari pohon bulat menyerupai ukulele yang disebut macina. Mereka memainkan alat musik tersebut sambil bernyanyi dan menari. Karena bunyinya "crang, crong", masyarakat sekitar menyebutnya sebagai keroncong.

Alat musik keroncong (sumber: Dokumentasi Pribadi)
Alat musik keroncong (sumber: Dokumentasi Pribadi)
Memainkan musik keroncong tugu (sumber: Dokumentasi Pribadi)
Memainkan musik keroncong tugu (sumber: Dokumentasi Pribadi)
Lambat laun musik keroncong mulai disukai dan menjadi tradisi dan tersebar di tempat lain, termasuk di Jawa yang melahirkan penyanyi Gesang. Musik keroncong yang dulu menjadi hiburan warga yang lelah setelah pulang bekerja akhirnya diberi identitas agar tak melupakan sejarah aslinya. Pada 1925, Joseph Quiko mengumpulkan para pemuda Tugu untuk bergabung di satu organisasi bernama Orkes Poesaka Kerontjong Moresco Toegoe-Anno 1661 atau juga disebut Keroncong Tugu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun