"Pola konsumsi masyarakat sekarang sudah bergeser, dari belanja barang ke belanja pengalaman, wisata, hiburan,"- Presiden Joko Widodo, dalam acara Kompas 100 CEO Forum di Raffles Hotel, Jakarta Selatan, Rabu (29/11/2017).
Beberapa waktu lalu media massa ramai memberitakan tutupnya toko-toko ritel, khususnya di Ibukota. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari perusahaan kolaps sampai penjualan tak mencapai target. Minggu (3/12/2017) lalu, salah satu outlet ritel di mal kawasan Jakarta Barat resmi ditutup. Saya pribadi cukup sedih mendengar kabar berita tersebut karena di gerai inilah biasanya saya membeli pakaian baru jelang hari raya seperti natal atau imlek.
Kebetulan hari Minggu (3/12/2017) kemarin saya juga mengunjungi salah satu mal di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Di salah satu gerai, saya melihat pakaian yang dijual dengan harga paling murah Rp 65.000! Seriously? 65 rebet? Dulu, harga pakaian di mal minimal seratus ribu rupiah ke atas. Mengapa sekarang banyak gerai yang "banting harga" bahkan sampai menulis harga jual besar-besar agar dilihat oleh pengunjung.
***
Dalam pembukaan acara Kompas 100 CEO Forum, selain memaparkan kemajuan di bidang ekonomi yang telah dicapai, Jokowi juga menyinggung perubahan pola konsumsi masyarakat, khususnya kalangan menengah.
"Sekarang di media sosial menentukan status bergengsi bukan lagi barang mewah. Yang menentukan status buat orang bergengsi adalah pengalaman, petualangan yang di-upload. Orang sekarang ke mana-mana yang penting selfie, wefie," imbuh mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
***
Sebagai generasi millenial, saya merasakan dampak langsung dari perubahan ekonomi digital ini. Kalau dulu makan di restoran harus jalan jauh, kini tinggal satu klik di smartphone, makanan akan diantar lewat jasa layanan transportasi online. Bila dulu banyak orang berlomba-lomba "pamer" gaya hidup dengan nongkrong di mal atau kafe, kini mereka pamer momen liburan di destinasi cantik di dalam atau di luar negeri.
Masih segar dalam ingatan kala transportasi online mulai masif, para pelaku usaha transportasi konvensional melakukan protes keras. Saat itu para pengemudi ojek online diancam oleh ojek pangkalan, atau ketika ratusan sopir taksi melakukan tindakan anarkis terhadap pengemudi taksi online. Pada akhirnya, para pelaku usaha transportasi konvensional tersebut ada yang gulung tikar, ada pula yang "berdamai" dan bergabung dengan jasa transportasi online.
Sejatinya, layanan akomodasi non-hotel ini sudah familiar di negeri seberang, bahkan berkembang pesat di beberapa negara maju karena memberikan pilihan akomodasi dengan harga kompetitif. Sayangnya, perubahan ekonomi digital ini belum siap diterima oleh masyarakat, khususnya para pelaku usaha.
Dalam dunia dagang atau bisnis, kita mengenal prinsip "Pembeli adalah raja". Jadi, jangan salahkan bila para raja yang kita layani kini sudah lebih modern dan canggih. Bila para konsumen cenderung mengikuti gaya hidup digital dalam kesehariannya (termasuk transaksi jual beli), kita juga harus mengikuti pola konsumtif (lifestyle dan travel) tersebut agar tetap survive. Misalnya membuka bisnis kuliner kekinian (seperti martabak topping variatif atau indomie ropang yang naik kelas), jasa tur, sewa transportasi atau akomodasi online, penyewaan alat camping, dll.
Zaman memang cepat berubah dan perubahan ini juga memaksa kita untuk beradaptasi dengan cepat. Tren ekonomi digital akan berkembang pesat dalam beberapa tahun ke depan. Pola konsumsi masyarakat juga akan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap akan perubahan tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H