Masih segar dalam ingatan kala transportasi online mulai masif, para pelaku usaha transportasi konvensional melakukan protes keras. Saat itu para pengemudi ojek online diancam oleh ojek pangkalan, atau ketika ratusan sopir taksi melakukan tindakan anarkis terhadap pengemudi taksi online. Pada akhirnya, para pelaku usaha transportasi konvensional tersebut ada yang gulung tikar, ada pula yang "berdamai" dan bergabung dengan jasa transportasi online.
Sejatinya, layanan akomodasi non-hotel ini sudah familiar di negeri seberang, bahkan berkembang pesat di beberapa negara maju karena memberikan pilihan akomodasi dengan harga kompetitif. Sayangnya, perubahan ekonomi digital ini belum siap diterima oleh masyarakat, khususnya para pelaku usaha.
Dalam dunia dagang atau bisnis, kita mengenal prinsip "Pembeli adalah raja". Jadi, jangan salahkan bila para raja yang kita layani kini sudah lebih modern dan canggih. Bila para konsumen cenderung mengikuti gaya hidup digital dalam kesehariannya (termasuk transaksi jual beli), kita juga harus mengikuti pola konsumtif (lifestyle dan travel) tersebut agar tetap survive. Misalnya membuka bisnis kuliner kekinian (seperti martabak topping variatif atau indomie ropang yang naik kelas), jasa tur, sewa transportasi atau akomodasi online, penyewaan alat camping, dll.
Zaman memang cepat berubah dan perubahan ini juga memaksa kita untuk beradaptasi dengan cepat. Tren ekonomi digital akan berkembang pesat dalam beberapa tahun ke depan. Pola konsumsi masyarakat juga akan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap akan perubahan tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H