"Mbak Tuna, bisa tolong kerokin saya gak?"
Kalimat ini terucap beberapa bulan lalu di kantor saya dulu. Tempat kerja saya adalah pabrik dimana para pegawainya terdiri dari staf kantor, operator mesin, supir, kernet, kuli panggul sampai buruh borongan. Kebetulan mbak Tuna ini adalah salah satu buruh borongan yang bekerja disana.
"Ya udah sini, mumpung saya kerja udah dapet target."
Di pabrik, mbak Tuna memang sering ngerikin para karyawan yang masuk angin atau kurang enak badan. Saat itu kepala saya sedikit berat, mungkin karena faktor begadang sehingga masuk angin. Jadilah saya dikerok di bagian leher saja. Kebetulan persediaan obat P3K kantor sangat terbatas, namun masih ada Balsem Lang yang bisa digunakan sebagai pelumas untuk kerokan serta uang logam Rp 1.000.
"Nah diem. Nih merah banget lho," kata mbak Tuna yang sangat bernafsu mengerok leher saya sementara saya meringis kesakitan.
"Gimana? Udah enakan kan? Kemarin si Andy dikerik tapi masih sakit, terus hari ini gak masuk."
Apa itu kerokan ?
Kerokan atau biasa juga disebut kerikan adalah metode pengobatan tradisional dengan menekan bagian tubuh dan menggosoknya berulang-ulang dengan minyak dan alat penggosok benda tumpul sehingga menimbulkan ruam dan bilur-bilur merah. Minyak atau pelumas seperti minyak telon, minyak olive, minyak kelapa, minyak kayu putih atau Balsem Lang dioles ke permukaan kulit guna menghindari iritasi. Alat penggosok yang digunakan biasanya adalah koin, gundu, batu giok, potongan jahe atau bawang merah.
Meski dianggap sebagai warisan leluhur nusantara, negara-negara luar juga memiliki teknik pengobatan serupa yang sama dengan kerokan. Misalnya Tiongkok (gua sha), Kamboja (goh kyol) dan Vietnam (cao giodi). Selain mudah diterapkan sebagai obat luar, kerokan menjadi pengobatan yang menembus strata sosial karena mudah, murah, mesra dan mujarab. Siapa sih yang tidak pernah kerokan? Mulai dari tua, muda, kalangan atas, menengah sampai bawah pasti pernah merasakan nikmatnya di-"tato cakar naga".