Mohon tunggu...
Deny Oey
Deny Oey Mohon Tunggu... Administrasi - Creative Writer

Seorang pembelajar, pecinta alam dan penikmat makanan pedas. Sesekali mengkhatamkan buku dan membagikan pemikirannya dalam tulisan. Beredar di dunia maya dengan akun @kohminisme (IG) dan @deNocz (Twitter).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sehari Menikmati Keindahan Kota Udang

19 Juni 2017   12:41 Diperbarui: 22 Juni 2017   21:45 1530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Anda sedang berkunjung ke Cirebon, cobalah untuk merasakan lezatnya nasi lengko karena hidangan ini mudah ditemukan baik di pinggir jalan sampai restoran.

Keberagaman di Keraton Kasepuhan

Tak jauh dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, berdiri salah satu bangunan yang memiliki sejarah panjang di kota udang ini. Keraton Kasepuhan, itulah tempat dimana sultan tinggal dan keturunannya sampai saat ini juga menetap disana. Bangunan ini terdiri dari beberapa area. Disana ada juga paseban atau pendopo yang merupakan bangunan semi terbuka.

Akulturasi budaya Jawa, Sunda, Arab, Cina, India dan Eropa terasa kental. Dua patung singa di depan keraton menunjukkan kuatnya pengaruh agama hindu pada masa itu, ditambah gerbang yang juga menyerupai pura di Bali. Ukiran di daun pintu gapura bergaya eropa serta pagar di beberapa area terbuat dari keramik cina. Jangan lupakan bata berwarna merah khas jawa.

Yang menarik adalah keramik porselen dari Tiongkok yang menghiasi dinding keraton. Meski keraton ini memiliki budaya islam yang kental namun lukisan yang tergambar dalam keramik tersebut adalah kisah dari agama nasrani (seperti gambar Yesus Kristus dan Musa). 

Ini menunjukkan bahwa Cirebon adalah kota yang toleran dan menerima keberagaman. Tak heran bila disini terdapat banyak bangunan keagamaan yang hidup berdampingan dan masyarakatnya juga terdiri dari berbagai suku dan etnis (Jawa, Sunda, Tionghoa, dll). Seperti namanya caruban, yang berarti bersatu padu.

Masih lestarinya becak

Waktu kecil saya sering menggunakan transportasi umum bernama becak. Namun seiring perkembangan zaman, becak mulai terkikis dari ibukota. Meskipun ada beberapa abang tukang becak yang masih suka mangkal, namun sensasi ngebecak yang saya rasakan tidak sama seperti waktu saya masih bocah. Becak di Jakarta bentuknya sudah bukan becak lagi, namun seperti semi gerobak.

Ketika banyak tukang becak berseliweran, kami pun memutuskan untuk menggunakan transportasi tradisional yang 'Indonesia banget' ini. Disini, becak berjalan beriringan dengan kendaraan bermotor lainnya. Bentuk becak khas Cirebon berukuran lebih kecil. Ukuran bangkunya hanya cukup menampung dua orang bertubuh ramping. Mereka yang bertubuh tambun lebih cocok duduk sendiri.

Sayangnya seperti kasus becak-becak pada umumnya yang kerap saya temui jika naik becak di kota-kota lain. Ada oknum abang tukang becak yang kerap meminta ongkos tambahan dari harga yang sudah ditentukan semula. Meski demikian, masih dilestarikannya transportasi lokal dan tradisional ini juga turut mengangkat pariwisata Cirebon dan juga Indonesia di mata dunia. Jika Thailand punya tuktuk dan Filipina memiliki jeepney, maka di Indonesia ada becak.

Mitos sumur di Keraton Kanoman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun