Keberagaman di Keraton Kasepuhan
Tak jauh dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, berdiri salah satu bangunan yang memiliki sejarah panjang di kota udang ini. Keraton Kasepuhan, itulah tempat dimana sultan tinggal dan keturunannya sampai saat ini juga menetap disana. Bangunan ini terdiri dari beberapa area. Disana ada juga paseban atau pendopo yang merupakan bangunan semi terbuka.
Akulturasi budaya Jawa, Sunda, Arab, Cina, India dan Eropa terasa kental. Dua patung singa di depan keraton menunjukkan kuatnya pengaruh agama hindu pada masa itu, ditambah gerbang yang juga menyerupai pura di Bali. Ukiran di daun pintu gapura bergaya eropa serta pagar di beberapa area terbuat dari keramik cina. Jangan lupakan bata berwarna merah khas jawa.
Ini menunjukkan bahwa Cirebon adalah kota yang toleran dan menerima keberagaman. Tak heran bila disini terdapat banyak bangunan keagamaan yang hidup berdampingan dan masyarakatnya juga terdiri dari berbagai suku dan etnis (Jawa, Sunda, Tionghoa, dll). Seperti namanya caruban, yang berarti bersatu padu.
Waktu kecil saya sering menggunakan transportasi umum bernama becak. Namun seiring perkembangan zaman, becak mulai terkikis dari ibukota. Meskipun ada beberapa abang tukang becak yang masih suka mangkal, namun sensasi ngebecak yang saya rasakan tidak sama seperti waktu saya masih bocah. Becak di Jakarta bentuknya sudah bukan becak lagi, namun seperti semi gerobak.
Ketika banyak tukang becak berseliweran, kami pun memutuskan untuk menggunakan transportasi tradisional yang 'Indonesia banget' ini. Disini, becak berjalan beriringan dengan kendaraan bermotor lainnya. Bentuk becak khas Cirebon berukuran lebih kecil. Ukuran bangkunya hanya cukup menampung dua orang bertubuh ramping. Mereka yang bertubuh tambun lebih cocok duduk sendiri.
Mitos sumur di Keraton Kanoman