Saya membayangkan fans Manchester United saat ini terbelah menjadi tiga kubu:
- Golongan Old School. Mereka berprinsip kesuksesan MU hanya ada di masa kepemimpinan Sir Matt Busby dan Sir Alex Ferguson. Bukan bermaksud pesimis, namun manager-manager selain dua nama di atas hanyalah deretan supporting actor,
- Golongan kekinian. Mau dibilang fans karbitan, salah. Fans baru yang memang baru ngerti soal bola, bisa jadi. Atau yang paling pas, mungkin mereka sebenarnya adalah fans manager MU saat ini,
- Die Hard Fans. Manchester is Red, my blood is red too! Tak perlu dijelaskan, mereka memang benar-benar fans sejati, fanatik dan berhaluan garis keras yang selalu membela tim kesayangan mereka dalam keadaan apapun.
Boleh dibilang, ketiga kubu fans ini sedang dalam masa ‘perang dingin’. Perang ini tentu disebabkan oleh hasil-hasil buruk yang diterima oleh Setan Merah. Masih membekas dalam ingatan bagaimana MU harus kalah oleh tetangganya, yang juga memperpanjang rekor kekalahan sang pelatih dengan ahli taktik dari kubu rival. Atau bagaimana kekalahan itu berlanjut ke Liga Malam Jumat dan lagi-lagi kembali menelan pil pahit oleh tim kelas menengah di liga.
Oh ya, MU memang berhasil meraih kemenangan lagi, tapi jujur saja, saya tidak tahu apa nama tim yang mereka kalahkan di piala kaleng (entah dari divisi mana dan sepertinya memang tim semenjana). Ditambah kemenangan di Liga Eropa dari tim yang sulit sekali untuk dieja pelafalannya (yang jelas, namanya seperti klub dari negeri antah berantah).Â
Pertanyaannya, meraih kemenangan melawan tim yang kelasnya jauh di bawah MU, ditambah dengan skor tipis pula, pantaskah untuk bangga?
***
Oke, The Red Devils berhasil mempecundangi juara bertahan dengan skor meyakinkan. Lalu apa berikutnya? Tepat sepekan usai pesta kemenangan tersebut, MU malah ditahan imbang oleh (lagi-lagi) tim kelas menengah. Ditambah kegagalan meraih poin maksimal tersebut harus buyar setelah unggul lebih dulu. MU memang tidak kalah, tapi juga tidak menang. Namun hasil seri ini tampak seperti sebuah ‘kekalahan’. Jangan lupa mereka harus bersaing dengan tim-tim yang sedari awal sudah tancap gas. Bila para rival meraih poin penuh, kegagalan menjaga konsistensi kemenangan akan menjadi bencana.
Hal ini yang menjadi dasar dari perang dingin tersebut. Golongan old school memang sudah meragukan kapasitas Jose Mourinho sebagai pelatih. Mou memang memberikan jaminan kesuksesan tetapi juga banyak memberikan keraguan. Mulai dari sifat kontroversialnya, taktik nan membosankan miliknya, hingga hubungan buruk dengan pemainnya sendiri.
Disamping itu, fans kekinian masih menaruh harapan bahwa Mou akan mengembalikan MU ke jalur juara, seperti halnya harapan Wayne Rooney bahwa ia akan selalu dimainkan sebagai starter. Die hard fans? Ah sudahlah, tak ada yang perlu dijelaskan soal mereka. Tak heran bila kita akan sering mendengar ocehan para fans MU dari ketiga golongan tersebut baik di warung kopi, media sosial maupun forum diskusi.
***
Kedua, sisi pertahanan masih menjadi permasalahan pelik. Para pemain belakang MU selalu tampil angin-anginan. Kadang bagus, kadang jelek. Bila mereka bermain jelek lagi, tak perlu kaget bila Mou akan kembali menunjuk kambing hitam kedua setelah yang pertama bernama Luke Shaw.
Ketiga, bagaimana formula Mou dalam meramu tim berisikan pemain lama dan baru. Setan Merah sungguh beruntung memiliki Zlatan Ibrahimovic yang didapatkan dengan gratis (ditambah dengan gol-golnya). Namun yang akan terus disorot adalah Paul Pogba yang kini dilabeli sebagai pemain termahal dunia namun bermain layaknya pemain gratisan atau pinjaman (masih ingat AC Milan 2-3 tahun silam?)