[caption caption="The Tinkerman in small town (sport.detik.com)"][/caption]Langkahnya sedikit gontai, namun masih terlihat tegap untuk pria seusianya. Melihat rambut putihnya, rasanya tak perlu menebak berapa usianya. Ditambah dengan kerutan di dahinya, yang menunjukkan kematangan atau karena terlalu banyak berpikir, seperti julukannya, The Tinkerman, Sang Pemikir.
Kali ini ia akan bertemu bos barunya, yang namanya sulit untuk dilafalkan dan sesaat akan membuat kita berpikir kalau ia berasal dari negara yang sama dengan Amitabh Bachchan (dan jawabannya SALAH BESAR jika melihat profil dirinya atau mencarinya di Google). Biar bagaimanapun, pria paruh baya ini harus menghadap bosnya tersebut. Karena disitulah ia akan mencari sepotong roti dan segelas kopi. (Saya gunakan kata-kata ini karena faktor budaya sebagai kata ganti kalimat ‘mencari sesuap nasi’)
“Penting bagi kami untuk tetap bertahan di Premiere League.”
Pria itu mengangguk setuju dan menjawabnya dengan penuh optimisme. Lagipula, ia juga harus menunjukkan kesan pertama yang baik dalam memikul tugas serta tanggung jawab yang diembankan padanya.
“Namun kami harus siap dengan kemungkinan terburuk. Jika kami terdegradasi, apakah anda akan tetap bersama kami?”
Meski sedikit terkejut, namun pria ini semakin merasa percaya diri dan sedikit senang. Mungkin baru kali ini ia mendapat dukungan penuh yang membuatnya merasa penting dan diinginkan. Sesuatu yang tidak ia dapatkan saat malang melintang di tempat kerjanya dulu. Dan mulai detik itu ia akan segera memulai petualangannya (dan mungkin mencetak sejarah juga).
The Tinkerman & The Foxes
Itulah sekelumit kisah awal Claudio Ranieri kala diangkat sebagai pelatih Leicester City. Meski memiliki nama besar (yang sebenarnya mulai meredup), Ranieri juga memiliki CV yang tidak mentereng-mentereng amat. Prestasinya hanyalah memiliki pengalaman melatih banyak klub, terutama di Italia dan Spanyol, plus piala-piala lokal yang jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari satu tangan. Dan ‘prestasi’ teranyarnya adalah sukses membuat mantan juara Eropa yang dilatihnya dipermalukan oleh tim antah-berantah dari pulau kecil. Delapan bulan setelah dibebastugaskan sebagai apresiasi atas prestasinya tersebut, namanya mulai dihubungkan dengan Leicester City.
Boleh dibilang, karir The Tinkerman mulai menukik. Karena terbukti, klubnya sekarang ini bukanlah tim yang familiar dan kalah pamor dari tim dari liga nun jauh disana yang masih memiliki pamor seperti Los Angeles Galaxy atau Corinthians, bahkan mungkin dari Persib Bandung sekalipun. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa Ranieri sudah mulai habis, baik dari fisik, ide dan filosofi. Dan Leicester, yang juga diprediksi akan terdegradasi, seakan menjadi pelengkap penderitaanya.
Seperti yang sudah kita tahu, Leicester City memang tim medioker, semenjana, penghuni papan bawah atau apapun sebutan ‘merendahkan’ lainnya. Dan wajar saja bila klub tetap mendukung Ranieri meski terdegradasi, sesuatu yang sangat mustahil ia dapatkan bila melatih Chelsea atau Real Madrid misalnya. The Foxes merupakan tim yang membuat keajaiban di akhir musim lalu. Sempat menjadi penghuni dasar klasemen dan tiba-tiba melejit di detik-detik terakhir sehingga lolos dari jurang degradasi. Kendati demikian, di awal musim ini mereka masih tetap dilabeli sebagai tim favorit degradasi. Para pemainnya? Ah, mereka hanyalah deretan pemain kurang terkenal dan nama-nama pemain buangan klub besar. Namun, siapa sangka Ranieri dan anak-anak asuhnya akan menjadi perbincangan oleh seluruh dunia di kemudian hari.
[caption caption="Football fairy tale"]
Now or Never!
“Kami harus mengumpulkan 40 poin untuk tetap bertahan di Premiere League,”
Itulah misi utama yang dicanangkan oleh Ranieri. Baginya, 40 poin cukup untuk mengamankam posisi The Foxes dari degradasi. Akan tetapi Leicester berubah menjadi kejutan, bukan hanya sebagai kuda hitam penjegal tim-tim besar tetapi menjadi calon juara. Sesuatu yang mungkin tidak berani diimpikan oleh punggawa Leicester dan para fansnya sekalipun.
Setelah kemenangan 4-2 atas Sunderland serta deretan hasil imbang dan sesekali menang melawan tim ‘sekelasnya’, Leicester ternyata juga mampu menjungkalkan tim-tim besar seperti Liverpool, Chelsea dan Manchester City. Nama Jamie Vardy dan Riyad Mahrez menjadi kunci kesuksesan The Foxes. Tak hanya itu, mereka juga memiliki pemain ‘melejit’ lainnya seperti N’Golo Kante, Danny Drinkwater, Wes Morgan, Leonardo Ulloa, Shinji Okazaki dan kiper yang terus berada di bawah bayang-bayang ayahnya, Kasper Schmeichel.
Sejatinya Liga Primer Inggris memang dikenal sebagai liga kompetitif (kalau bukan yang terbaik), dan para pemenangnya pun hanyalah tim-tim tradisional yang tak perlu saya sebut pasti Anda sudah hafal siapa-siapa saja mereka. Di setiap awal musim biasanya selalu ada tim ‘lain’ yang menjadi kejutan, meski di pertengahan dan akhir musim namanya mulai tenggelam.
Namun Premiere League musim ini boleh dibilang sangat ‘aneh.’ Juara bertahan, Chelsea, seakan lupa bahwa musim lalu mereka adalah kampiun dan malah sibuk merencanakan kudeta terhadap pelatihnya. Manchester City dan Arsenal sempat meyakinkan sebagai kandidat juara tetapi masing-masing menunjukkan inkonsistensi. Bedanya, para pemain City sedang galau pasca penunjukkan pelatih anyar di awal musim nanti yang membuat posisi mereka menjadi tidak aman. Sementara Arsenal seperti sedang kesulitan meraih kemenangan, atau bolehlah kita sebut sebagai kaset baru dari lagu lama berjudul ‘kehabisan bensin.’ Manchester United? Lupakan! mereka bukan lagi tim kandidat juara setelah memperagakan permainan putar-putar bola tanpa arah yang jelas di lapangan dengan pemain berambut kribo sebagai sentral permainan (meski bermain amat sangat dan teramat jelek banget sekalipun!), menurut filosofi sang pelatih.
Tak pelak, hal ini ‘memuluskan’ langkah Leicester ke tahta juara. Sejak pekan ke-20, target 40 poin sudah terealisasi dan Vardy dkk terus melaju. Hingga Premiere League menyisakan beberapa pekan lagi, praktis bursa calon juara menjadi milik Leicester City dan Totenham Hotspurs (well, ini juga kejutan kedua di Premiere League). Leicester sudah terlanjur basah, mereka sudah memastikan tempat di Liga Champions musim depan. Lalu kenapa tidak ‘nyemplung’ saja sekalian! Toh mereka juga sudah ‘kebablasan’ dari mimpi awal mereka. Liga tinggal menyisakan tiga pekan lagi, dan mereka hanya membutuhkan tiga poin lagi dari kejaran Spurs yang berada di posisi kedua dengan perbedaan tujuh poin.
[caption caption="Let's celebrate it!"]
“Saya katakan kepada pemain saya: Sekaranglah saatnya atau tidak sama sekali!”
Ranieri sadar bahwa kisah Leicester City sudah menjadi dongeng. Dari tim yang musim lalu hampir terdegradasi berubah menjadi calon juara musim ini. Dan hal yang sama belum tentu bisa terulang kembali. Mungkin lebih baik Leicester menjadi juara (demi menciptakan kenangan manis) lalu musim berikutnya compang-camping dan terdegradasi ketimbang gagal juara kemudian kembali ke habitat semula, sebagai tim medioker. Setidaknya banyak orang (kecuali fans Totenham) berharap Leicester City juara karena mereka memang pantas mendapatkannya, apalagi jika melihat awal perjalanan mereka. Leicester bukan lagi olok-olokan, Leicester adalah sebuah cerita, yang akan dikisahkan oleh ayah para fans dan pemain-pemainnya saat ini kepada anak-cucu mereka nanti (Mengutip kata-kata Jurgen Klopp).
Akhir pekan ini, mimpi kebablasan Ranieri dan Leicester akan terukir. Sebuah mimpi yang akan membuat nama Ranieri tercatat dengan tinta emas dalam sejarah klub serta rekam jejak karirnya. Juga sebuah mimpi dari tim kejutan yang akhirnya mencapai puncak kejayaan setelah 132 tahun berdiri. Dan kami semua berharap, bahwa mimpi tersebut akan dapat kita saksikan setelah wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan di Old Trafford.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H