Mohon tunggu...
DEVITASARI RSA
DEVITASARI RSA Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Suka-Suka

Menulis merupakan salah satu cara untuk meluapkan perasaan dan pikiran serta hasil pengamatan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Money

Penagihan Pajak, Menyeramkan?

29 September 2018   10:59 Diperbarui: 29 September 2018   11:22 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mendengar kata "tagih", pastinya membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana tidak, bayangan sosok tinggi besar seperti deep collector datang menghampiri. Lantas, bagaimana dengan penagihan pajak ?

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Jadi, wajib pajak yang mendapatkan surat tersebut dianggap mempunyai utang kepada negara. Apakah negara akan diam saja ? Tentu saja tidak. Tindakan penagihan pajak akan dilaksanakan apabila setelah jatuh tempo pembayaran wajib pajak tetap tidak melunasi utangnya.

Berawal dari Surat Teguran. Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya berdasarkan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Republik Indonesia No 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 

Surat Teguran ini dikirimkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui jasa pengiriman. Di dalam Surat Teguran disebutkan bahwa wajib pajak dapat melunasi tagihannya dalam jangka waktu 21 hari sejak diterbitkannya Surat Teguran. Bukankah lebih ringan, Wajib Pajak ? Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan waktu tambahan untuk melunasinya. Serta, tanpa bunga.

Namun, bagaimana kalau wajib pajak masih tetap belum berkutik ? Mau tidak mau, selepas 21 hari tersebut DJP akan menerbitkan Surat Paksa. Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Republik Indonesia No 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menyebutkan bahwa Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. 

Surat Paksa diserahkan dan dibacakan langsung oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) kepada wajib pajak/penanggung pajak. Setelah penyampaian, wajib pajak/penanggung pajak harus menandatangai Berita Acara Surat Paksa sebagai tanda bahwa wajib pajak tersebut telah dipaksa. Dalam jangka waktu 2x24 jam sejak Surat Paksa diterima, wajib pajak harus melunasi utangnya. Apabila tidak, JSPN akan melanjutkan tindakan penagihannya.

Tindakan penagihan selanjutnya adalah penyitaan. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Republik Indonesia No 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 

JSPN akan mencari informasi mengenai asset apa saja yang dimiliki oleh wajib pajak tersebut guna dijadikan objek sita. Objek sita dapat berupa barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. Melalui Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, JSPN akan menyegel/menyita barang-barang tersebut dengan memberikan Berita Acara Pelaksanaan Sita.

Jika hingga tahap penyitaan wajib pajak tak kunjung membayar, maka JSPN akan berkoordinasi dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) setempat untuk melakukan pelelangan terhadap barang tidak bergerak dan berkoordinasi dengan Bank untuk melakukan pemblokiran rekening guna melunasi utang wajib pajak tersebut.

Selain hal di atas, masih terdapat tindakan penagihan lainnya apabila wajib pajak tergolong sebagai wajib pajak tidak patuh dan tidak beritikad baik kepada DJP yakni melalui pencegahan dan penyanderaan. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Sedangkan Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu berdasarkan Pasal 1 ayat (20) dan (21) Undang-Undang Republik Indonesia No 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Namun, KPP tidak semata-mata langsung melaksanakan tindakan penagihan pajak. Di setiap langkahnya, JSPN selalu mengedepankan tindakan persuasif seperti memberikan konseling dan negoisasi lainnya agar wajib pajak dapat patuh terhadap Negara. Toh, uang pajak yang mereka bayarkan akan digunakan untuk diberikan kembali manfaatnya kepada mereka. Jadi, penagihan pajak, menyeramkan ?

Tulisan ini sudah pernah di muat di link berikut ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun