Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Demokrasi Melawan Bahaya Megalomaniak

20 November 2023   09:06 Diperbarui: 20 November 2023   09:06 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Misalnya muncul dinasti politik yang mendewakan keluarga sebagai basis pengambilan keputusan publik. Tentu publik dan private adalah dua hal yang berbeda, tidak bisa disatukan. 

Bagaimana mungkin seorang pejabat publik membuat kebijakan hanya karena kecintaan dirinya kepada anak atau istri. Itu sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam konteks mengelola negara menggunakan perspektif publik. 

Makanya, menjadi pejabat bukan hal sepela yang hanya menerima tunjangan tiap akhir bulan. Tetapi ada integritas, wisdom, kecerdasan, moral dan etika yang dipertaruhkan.

Munculnya banyak "raja lokal" sebagai buah busuk dari pohon demokrasi tentu merupakan kecelakaan nyata di depan mata. Kesetaraan akhirnya dipandang hanya untuk privilege buat kalangan bangsawan. Bagi rakyat yang tidak memilki trah, tentu tidak ada makan siang yang diberikan. 

Raja lokal atau orang kuat lokal ini yang kemudian memainkan perilaku megalomania ditingkat akar rumput. Kolaborasi antara ketamakan dan kekerasan terjadi hampir disetiap daerah ketika menjelang pemilu. Rumah dibakar, diasingkan karena pilihan berbeda, tidak mendapat bantuan sosial merupakan asam garam yang terus -- menerus dinikmati masyarakat. 

Salahnya apa sehingga rakyat disiksa dengan politik transaksional ini?. Hanya karena kekuasaan orang bisa berubah menjadi megalomaniak dan memotong kebutuhan hidup orang banyak.

Sejak dulu, demokrasi itu di buatkan oleh rakyat dan seharusnya dinikmati oleh rakyat. Sebagai warga negara, kita punya hak untuk mengembalikan demos dan kratos ini kejalan yang seharusnya. 

Suara-suara kritis tidak patut lagi dibungkam karena itu merupakan teriakan penderitaan dari rakyat yang tersiksa oleh watak megalomaniak politik hari ini. Meskipun begitu, kritisisme itu perlu diwadahi juga dengan kaedah-kaedah ilmiah untuk menambah kekuatan argumentasi dalam membantah kebijakan pemerintah. Karena kebebasan tidak cukup tanpa kecerdasan.

Apa pun polemiknya, orang indonesia adalah manusia yang luar biasa. Ketabahan dan kekuatan menyatu dalam setiap pribadi individu-individu. Sejak dulu, kita adalah bangsa yang kokoh dan kuat. Kita percaya bahwa kebaikan politik itu tidak hilang, tetapi hanya beristirahat sejenak. 

Satu kali kelak akan muncul dengan wajah yang berseri-seri dan memeluk megalomaniak dengan hangat sambil berkata "apakah kamu tidak lelah, istirahatlah dulu". Mungkin ini adalah cobaan bagi kita melawan praktek-praktek jahat di republik ini. Tentu bukan kita seorang saja, pasti ada beberapa individu-individu hebat yang berjuang menegakan kebenaran dan keadilan di republik ini. 

Bukankah setiap zaman selalu melahirkan individu-individu untuk menjaga tetap tegaknya sayap Garuda. Denken ist danken, berpikir adalah bersyukur. Bersyukur hidup dinegara hebat ini dan bertindak untuk memperbaiki berbagai kerusakan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun