Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Demokrasi Melawan Bahaya Megalomaniak

20 November 2023   09:06 Diperbarui: 20 November 2023   09:06 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangat miris sekali jika melihat demokrasi dipertaruhkan untuk menunjukan siapa yang paling berkuasa. Padahal demokrasi itu adalah memilih dari orang-orang yang setara. Bukan memilih orang-orang yang paling berkuasa.

Anehnya lagi, watak demokrasi kita saat ini jatuh dalam roda transaksi liberal. Amplob menjadi jembatan penghubung untuk mencairkan suasana relasi antara elite dan publik. 

Susahnya lagi rakyat kita justru memberikan kapret merah terhadap model politik transaksional seperti ini. Pertanyaannya kemudian, apakah sistem ini sengaja dibangun oleh negara atau hanyalah dampak dari reformasi kita yang terlalu terburu-buru?. Tentu refleksi ini tidak bisa dibaca hanya menggunakan kaca mata kuda. 

Reformasi sebenarnya kado istimewa yang lahir dari perjuangan aktivis saat itu. Harapannya tentu terbebas dari rezim totaliter, bukan untuk bebas secara finansial. Tetapi toh, perjuangan idelaisme itu akhirnya buram ketika parpol adalah jalan satu-satunya menuju singgasana. 

Jelas bahwa, meskipun idelaisme diperjuangkan, tetapi disisi lain harus ada kepentingan parpol yang diselibkan dalam berbagai transaksi. Selain itu, budaya konsumtif yang berkembang dengan pesat pasca reformasi membuat praktek korupsi merajarela dari tingkat nasional sampai daerah.

Prinsipnya demokrasi itu konsep yang baik. Tetapi konsep luar biasa ini sulit diterjemahkan secara teknis dan praktis. Ini terjadi karena hampir setiap politisi memilki defenisi berbeda tentang demokrasi. 

Demokrasi didefenisikan sesuai dengan kebutuhan politisi dan parpol, sehingga pemaknaannya menjadi luas tetapi tidak dalam. Kedalam itulah yang hari ini belum nampak dalam praktek demokrasi kita. Dan tentu berdampak besar kepada pelaksanaan pesta demokrasi kita setiap lima tahun. 

Kita butuh refrensi dasar untuk memperbaiki logika kita. Agar bisa sadar tidak hanya secara akademis tetapi juga moraldan etis untuk memperbaiki sistem demokrasi kita yang perlahan menggrogoti Nasionalisme  hari ini.

Melawan Megalomania

Ketamakan dan kerakusan merupakan ketakutan terbesar dari demokrasi yang dipraktekan hari ini. Kekwatiran itu muncul dari realita publik yang melihat menjadi politisi itu merupakan jenjang karir. 

Padahal menjadi politisi itu sebenarnya hal yang tidak mudah. Karena banyak tanggung jawab rakyat yang diperjuangkan. Justru politik kita hari ini lebih memperkuat budaya itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun