Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mumpung Pemilu Umbu

20 November 2023   07:09 Diperbarui: 20 November 2023   07:33 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mumpung Pemilu Umbu

Tahun 1215 ketika Raja Jhon menempelkan stempelnya ke Articles Of The Barons, maka muculah satu piagam yang cukup terkenal, yaitu Magna Carta. Piagam ini adalah implementasi dari konsep demokrasi. Tuntutan rakyat Inggris saat itu diiringi berbagai pemberontakan, akhirnya mendesak Raja Jhon untuk mengembalikan hak-hak sipil kepada rakyatnya dalam 63 aturan piagam Magna Carta. 

Kisah ini memberikan gambaran betapa kuatnya tuntutan hidup demokratis, sehingga dapat memaksa lingkaran "darah biru" agar menerima gagasan baru. Zaman terus bergerak dan raja perlahan tidak lagi menjadi tonggak kekuasaan tertinggi. 

Pada akhirnya monarki absolut harus bisa beradaptasi dengan gagasan-gagasan sistem pemerintahan baru. Tujuan adaptasi itu salah satunya untuk menjaga eksistensi monarki absolut tetap berkiprah di tengah kondisi masyarakat yang telah berubah.

Eksistensi negara hari ini tidak terlepas dari sistem kerajaan yang ada sebelumnya. Bentuk sistem kerajaan adalah komunitas pra-modern, dimana manusia bertumbuh dan berkembang dengan gaya monarki absolut. 

Metode ini dimainkan oleh satu orang atau sekelompok orang dalam lingkaran "darah biru". Sejarah membuktikan bahwa status raja bisa didapatkan dengan berbagai cara. Bisa karena memenangkan peperangan, pengakuan rakyat, atau lebih dahulu mendiami sebuah tempat. 

Apapunnya asal usul seorang raja, sistem monarki absolut memegang peranan selama berabad -- abad. Bahkan kalau menelisik sejarah, kontribusi sistem monarki berdampak besar pada perubahan zaman. 

Misalnya perang dunia pertama tahun 1914, ketika terbunuhnya Archduke Franz Ferdinand yang merupakan pewaris tahta kerajaan Austria-Hongaria. Peristiwa ini mengakibatkan perang selama 5 tahun dan memakan banyak korban jiwa. Tragedi ini juga memberikan dampak besar diberbagai negara dan mengubah rute perjalanan dunia.

Bangsa kita juga mengalami hal sama ketika era kerajaan masih memiliki andil besar dalam menyatukan bangsa-bangsa nusantara. Ketika berbagai kerajaan berperang mencari pengaruh untuk menunjukan kekuatan dan kekuasaan. Era ini tidak bisa sekedar dibaca sebagai cerita dongeng, melainkan era kerajaan bisa disebut sebagai peletak dasar munculnya bangsa Indonesia. 

Warisan-warisan monarki itu bahkan sampai sekarang masih dipegang teguh oleh masyakat kita. Misalkan saja, ramalan pemimpin Indonesia oleh Jayabaya yang heboh ketika kontestasi Pilpres. 

Terkesan sepele, tetapi diskusi sosiologis yang tumbuh ditengah masyarakat tidak terlepas dari hal-hal berbau kerajaan. Artinya sistem dan cara berpikir monarki masih tetap ada dan hidup dalam berbagai diskursus di tingkat elite sampai masyarakat pedesaan.

Event pemilu yang bangsa ini pakai sebagai bentuk nyata dari demokrasi adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri oleh setiap warga negara. Demokrasi tidak hanya dinikmati oleh lingkaran penguasa dan pemilik tanah, Tetapi bagai matahari, demokrasi memberi kesempatan kepada semua orang tanpa perlu bertanya-tanya latar belakang. 

Demokrasi juga datang tidak hanya dikota-kota besar, tetapi bertumbuh bagai rerumputan di desa-desa bahkan diwilayah terpencil sekalipun. Seperti halnya ditempat lain, Demokrasi juga berkembang di tanah Marapu. Bertumbuh seperti sabana dan memikat bagaikan ribuan bukit. 

Demokrasi bagaikan tamu di rumah umbu dan rambu, membawa cerita tentang Magna Carta yang layak untuk diperjuangkan. Begitulah demokrasi, datang tanpa pandang perbedaan dengan harapan setiap kita mendapat kesempatan dan hak yang sama.

Penerapan Otonomi Daerah tidak langsung meningkatkan animo perebutan kekuasaan sampai pada level daerah. Pemimpin lokal perlahan lahir dari sistem ini, meskipun tedapat banyak keterbatasan pemahaman otonomi daerah dalam praktek pemerintahan sehari-hari. Muhammad Aqil menyebutkan bahwa demokrasi langsung merupakan konsekuensi dari desentralisasi dan otonomi daerah yang bertujuan mendekatkan pemimpin daerah dengan masyarakat (2016, hal 71). 

Pertempuran dalam arena sistem desentralisasi memungkinkan berbagai pihak bisa memanfaatkan potensi lokal. Tidak hanya soal rupiah, melainkan pengaruh sosial dan strata bisa menjadi aktor utama generasi tanah marapu dalam berkompetisi. Ketika era kolonial, menurut Hoskins (Argo, 2022, hal.9) saat komunikasi dan sengitnya kompetisi di antara penguasa lokal, pemerintah Kolonial mencoba memasukan bangsawan kedalam hirarki pemerintahan dan strategi ini mampu membuat masyarakat patuh. 

Bangsawan -- bangsawan ditunjuk bukan karena kompetensi, melainkan otoritas mereka di dalam komunitas lokal mereka masing-masing. Kita patut curiga jangan sampai tradisi Kolonial digunakan sampai saat ini. Pemimpin lokal kita tidak berasal dari kompetensi, melainkan hanya datang dari otoritas monarki, meskipun mekanismenya digambarkan sangat demokratis.

Idealnya pemilu, baik itu legislatif maupun eksekutif yang terjadi di Sumba bisa diperebutkan siapa saja sebagai jatah warga negara. Tetapi prakteknya, kesempatan itu sering dinikmati oleh kalangan bangsawan. Kekuatan mereka tidak main-main, apa lagi sebagai anak tanah dengan legitimasi kuat ditengah masyarakat membuat golongan kerajaan memiliki kesempatan  luas dibandingkan masyarakat dengan starata yang rendah. 

Salah satu alasan terselenggaranya Pemilu ditingkat adalah mencari pemimpin yang paham secara sosiologis, ekonomi , dan budaya masyakatnya. Sehingga penguasa tanah diasumsikan mampu untuk memimpin masyarakatnya karena memilki pengalaman turun-temurun. Tetapi ini sebenarnya metode yang sama karena hanya memindahkan alur berpikir monarki menuju arena pertarungan modern dalam bentuk demokrasi elektoral. 

Pemenang Pemilu telah diketahui bahkan sebelum bel pertandingan dibunyikan. Warga non-elita hanyalah "tumbal" demokrasi lokal untuk melengkapi sistem Pemilu agar kelihatan demokratis. Hampir setiap pemimpin di tanah marapu berasal dari keluarga karpet merah yang notabennya sudah memiliki basis masa yang kuat dan fanatik. Sehingga pada prakteknya, kesempatan desentralisasi ini dianggap sebagai peluang emas untuk mempertahankan ego stratifikasi sosial dan eksisitensi darah biru di era 4.0.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun