Mohon tunggu...
Denny Mizhar
Denny Mizhar Mohon Tunggu... Pendidik, Pekerja Seni, Pekerja Sosial, Penulis -

Lahir di Lamongan. Sekarang Tinggal di Kota Malang. Beraktivitas di Pelangi Sastra Malang, Kafe Pustaka, Rumah Inspirasi Malang dan Teater Sampar Indonesia-Malang. Pengajar di SMK Muhammadiyah 2 Kota Malang dan SMK Kesehatan Amanah Husada Kota Batu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Desa “Arbanat” Kesambi – Pucuk - Lamongan

25 Juli 2015   01:54 Diperbarui: 25 Juli 2015   01:54 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila kita menyebut nama kota Lamongan maka kita akan teringat dengan Soto Ayam Kampung Lamongan, Tahu Campur, Sego Boranan, Wisata Bahari Lamongan, Wisata Relegi Sunan Drajat, Tanjung Kodok, Goa Maharani, Wingko Babat, Makam Ibu Gajah Mada, Tempat Pelelangan Ikan Brondong dan lainnya sebagainya. Masyarakat Lamongan memiliki kebiasaan merantau untuk mengaduh nasib ke luar kota dan itu tersebar di berbagai daerah misalnya saja Bali, Banyuwangi, Surabaya, Malang, Jakarta, Kalimantan. Kebanyakan mereka menjual makanan dan sebagainnya kerja kantoran atau melanjutkan studi.

Ada perkembangan yang menarik di Lamongan pada tahun 2000-an, yakni banyak bertumbuhnya penerbitan buku: ada pustaka pujangga, pustaka ilalang, sastranesia, LA Rose dan juga produksi karya terutama sastra. Hal tersebut pengaruh dari kepulangan mahasiswa-mahasiswi yang tuntas studinya di Jogja, Surabaya, Jember dan Malang dan disumbang berdirinya kampus UNISDA Lamongan, serta kampus-kampus lainnya dan belakangan ini beberapa datang dari kota lain untuk studi Lamongan yakni di STIKES Muhammadiyah Lamongan. Selain itu lamongan juga penyumbang hasil pertanian dan perikanan.

Saya tak hendak mendedah Lamongan secara luas akan tetapi hendak menulis tentang desa kelahiran yakni desa Kesambi kecamatan Pucuk kabupaten Lamongan. Desa saya tidak banyak menjadi pembicaraan ketika berbicara tentang wisata dan kuliner tetapi kalau ditelisik lebih detail akan menemukan makanan khas Lamongan ada di desa yang bertempat antara kecamatan Sukodadi dan Kecamatan Babat di kabupaten Lamongan. Di antaranya ada Depot Soto Ayam Kampung Pak Di yang terkletak bersebelahan dengan kantor kecamatan Pucuk dan di depan Stasiun Pucuk Lamongang. Dulu sebelum adanya pelebaran jalan berada di samping stasiun Pucuk Lamongan. Entah sejak tahun berapa berdiri. Saya lahir tahun 80-an dan depot Soto Ayam Kampung Pak Di sudah ada. Saya tahu karena Pak Di adalah mbah saya dari Ibu. Semasa kecil laris sekali bahkan dulu masih umur belasan peludruk Kartolo CS sempat makan di Depot Soto Pak Di sehabis tanggapan. Waktu itu Mbah saya yang memberitahu saya. Ibu saya yang kerap membantu mbah memasak soto dan bapak saya pada awalnya adalah penjahit. Ketika mbah meninggal dunia, akhirnya ibu saya yang menggantikan sampai sekarang meski beberapa saat saudara ibu sempat menggantikan tetapi tidak bertahan lama. Saya masih kecil, kira-kira kelas 2 SMP, Depot Soto Ayam Kampung Pak Di pindah ke samping kantor kecamatan. Beberapa teman saya, suka sekali dengan soto bikinan Ibu saya. Kerap ketika saya berkunjung ke rumah teman membawakan bungkusan soto untuknya sampai sekarang pun demikian ketika kembali ke Malang tempat saya merantau dan mengaktualisasikan diri kerap membawa soto dari rumah untuk teman-teman. Kalau tidak percaya, silakan mencoba bila lewat jalur utara dan singgalah menikmati soto ayam kampung masakan ibu saya. Cukup mudah dicari, samping kantor kecamtan Pucuk dan depan Stasiun Kereta Api Pucuk. Ini adalah salah satu kuliner di desa saya.

Soto Lamongan saya utarakan untuk memberi simbol Desa Kesambi sebagai desa kuliner, kebetulan penjualnya adalah keluarga saya. Dan sebelum nanti saya akan bicara Arbanat. Desa Kesambi dulu terkenal dengan Mindek. Beberapa tetangga desa kerap mengolok-olok dengan sebutan 'kakean mangan mindek' (kebanyakan makan mindek). Kenapa itu menjadi bahan olokan sebab kalau kebanyakan makan mindek akan mengakibatkan bau kentut tak sedap. Mindek adalah makanan yang diolah dari buah (soloben atau selebese) nama kerennya trembesi yang dikeringkan lalu diambil bijinya dan digoreng dengan pasir. Tetapi saat ini sudah tidak berkembang, karena pohon-pohon trembesi sudah banyak ditebang. Ada lagi yang khas menurut saya, mungkin belum ada di desa lain yakni Gandolio, makanan yang dibuat dari tepung trigu yang digoreng.

Baiklah, saya akan memulai mebahas Arbanat dan kehidupan masyarakat desa Kesambi. Pekerjaan masyarakat desa Kesambi kebanyakan adalah petani dan pedagang sebagian kantoran. Kalau melihat akhir-akhir ini pertanian di desa Kesambi agak susah diandalkan kerena sistem irigasi yang tidak mendukung. Hal tersebut menjadikan merantau adalah pilihan. Pada tiga tahun terakhir ini desa Kesambi ada perubahan yang luar biasa terutama bulan puasa, menjelang lebaran. Biasanya kalau ramadhan, menjelan Ramadhan sebagian pemuda pergi merantau untuk menyiapkan lebaran. Tetapi tiga tahun belakangan ini sebagain pemuda menggali peruntungan dari mebuat Arbanat. Terakhir menurut data serampangan saya, ada 30 pembuat Arbanat. Padahal sejak dahulu sebelum zaman kemerdekaan pembuat Arbanat sudah ada di desa Kesambi, cerita Kak Yet salah satu pembuat Arbanat yang sudah cukup lama. Dahulu pembuat Arbanat tidak sebanyak sekarang, tidak lebih dari 10 orang di antaranya ada Gus Darman, Mbah Garisam, Gus Tohir, Gus Sahlan, Mbah Kur, Pak Tandu, Kak Yet dan beberapa lainnya. Sebagian ada yang mencoba mencari peruntungkan dengan menjual Arbanat ke Jakarta.

Hal yang menggembirakan bagi saya yang dulunya sempat pesimis akan ada penerus dari mereka. Tetapi rasa pesimis saya keliru. Saat ini pemuda-pemudanya mulai tertarik untuk menggeluti pembuatan Arbanat meski ini masih jadi musiman menjelang puasa dan lebaran Idul Fitri. Kalau saya menghitung dari hasil obrolan warung kopi bersama teman-teman saya yang membuat arbanat sekitar 30 Ton lebih gula pasir masuk desa Kesambi untuk produksi Arbanat, itupun masih ada penolakan pesanan karena masih kurangnya tenaga. Kira-kira perputaran uang sebulan menjelang lebaran Idul Fitri sampai Rp. 35.000.000 dari gula pasir, belum tepung trigu dan minyak goreng. Sebuah awal yang mengembirakan bila nantinya dikelola dengan baik dan tidak hanya menjelang lebaran Idul Fitri saja produksi dengan jumlah yang banyak.

Beberapa hal yang perlu dilakukan agar Desa Arbanat Kesambi menjadi salah satu daerah di Lamongan yang wajib dikunjungi untuk melihat bagaimana produksi Arbanat dilakukan atau bisa disebut sentra home industri jajanan rakyat. Sering kali banyak yang tanya bagaimana pembuatan Arbanat, dari gula, tepung dan minyak goreng menjadi seperti rambut. Upaya dari produsen Arbanat adalah membuat paguyupan pembetot Arbanat (istilah pembetot ini saya gunakan karena pembuatan Arbanat dengan cara dibetot-betot pakek tangan) sehingga terus terjalin komunikasi dan saling membantu bila ada persoalan, terutama bagaiman melahirkan generasi pembetot yang handal. Karena tidak semua bisa membetot, diperlukaan pengalaman dan ketrampilan. Bila tidak, maka hasil dari Arbanat tidak bisa halus dan akan kasar serabut-serabutnya. Tak hanya itu, bagaimana nantinya juga dapat menyumbangkan perubahan ekonomi bagi masyarakat kampung. Berkurangnya masyarakat yang merantau, karena cukup di rumah bisa menghidupi ekonomi keluarga. Desa pun tidak pernah sepi karena pemudanya bertahan di desa. Kegiatan sosial, gotong royong pun bisa dipulihkan kembali di era kapitalisme yang serba individual.

Selain peran para produsen juga diperlukan peran pemerintah, memberikan pelatihan dalam pengemasan dan juga membatu dalam bidang pemasaran yang modern. Bila hal tesebut dilakukan makan Desa Arbanat Kesambi akan tercipta. Selain itu yang tidak bisa dilupakan dari simbol jajanan Arbanat adalah alat musik yang biasa digunakan penjual keliling. Diperlukan juga daya kreatif masyarakat Desa Kesambi untuk mebuat alat musik yang menyerupai Erghu, Rebab. Saya membayangkan, di sela-sela membetot Arbanat ada iringan musik yang dikomposisikan dengan ciamik dari alat musik yang dipakek penjual Arbanat. Semoga dikemudian hari terjadi dan harapan saya akan ada Festival Arbanat desa Kesambi yang disponsori oleh pabrilk-pabrik gula, tepung terigu, minyak goreng dan pemerintah akan tambah merdu gesekan alat musik “ngik-ngok” (sebutan orang-orang akan alat musik yang digunakan penjual arbanat) bila dihadirkan rekor muri untuk membuat Arbanat sepanjang jalan desa dan menjadi jujukan wisatawan bila sehabis dari WBL. Dari melihat perkembangannya, harpan saya melangit, agar desa Kesambi mampu menjadi desa Arbanat, meski sebenarnya di beberapa daerah ada juga pembuat Arbanat.

Saya pun kembali ke Kota Malang dengan tidak tinggal diam. Saya berupaya menawarkan pada teman-teman saya bila ingin menikmati, saya bisa mefasilitasi dengan meminta bantuan orang tua saya di desa mengirimkan beberapa kg Arbanat untuk saya jual ke teman-teman dan mencoba mengemas di sela-sela aktivitas saya. Hal tersebut sebagai upaya saya mengingat dan turut andil akan perkembangan desa kelahiran. Majulah desa Kesambi Kecamatan Pucuk Lamongan.

Begitulah sekelumit tentang desa saya, bila pembaca ingin juga menikmati Arbanat Desa Kesambi saya bisa membantu. Ada beragam rasa dan warna. Salam Kuliner Nusantara.

Malang, 24 Juli 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun