Mohon tunggu...
Denny Mizhar
Denny Mizhar Mohon Tunggu... Pendidik, Pekerja Seni, Pekerja Sosial, Penulis -

Lahir di Lamongan. Sekarang Tinggal di Kota Malang. Beraktivitas di Pelangi Sastra Malang, Kafe Pustaka, Rumah Inspirasi Malang dan Teater Sampar Indonesia-Malang. Pengajar di SMK Muhammadiyah 2 Kota Malang dan SMK Kesehatan Amanah Husada Kota Batu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama Artikel Utama Artikel Utama Artikel Utama

Malang dalam Film (Catatan dari Malang Film Festival 2015- Sesi Malangan)

23 Juni 2015   13:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Malang, sudah tidak asing lagi dengan dinamika perfilman, sebab sejak jaman kolonial sudah ada gedung bioskop. Pada era 70-an Malang mengalami puncak kejayaan dalam perfilman terutama maraknya gedung-gedung bioskop. Akan tetapi pada era 80-an mengalami penurunan dikarenakan adanya televisi yang mucul. Lalu bagaimana di era kekinian film di Malang. Ada beberapa penanda yang menjadikan saya optimis akan perfilman di Malang. Bukan dalam hal distribusi saja akan tetapi dalam produksi. Kita bisa amati munculnya titik pemutaran film di Malang di antaranya berada di Kedai Kopi Tjangkir 13,  Warung Kali Metro, Ringin Asri, juga di kampung-kampung. Kalau dulu berada di gedung bioskop akan tetapi saat ini di ruang-ruang alternatif. Bahkan di kampung-kampung juga sering digelar pemutaran film. Misalnya saja “Film Darah Biru Arema” yang di produksi Kelas Film Indonesia bekerjasama dengan SMK Muhammadiyah 5 Kepanjen dan disutradari oleh Taufan Agustyan yang diputar di distrik-distrik Aremania. “Dara Biru Arema” memiliki penonton yang banyak karena film tersebut mengankat tentang suporter klub sepak bola Arema yang memiliki suporter yang loyal dan fanatik. Bisa jadi ini adalah kejelian dalam memilih materi tentang kelokalan dalam film.

Peran distribusi film oleh salah satu komunitas film di Malang juga sangat penting dalam penayangan film-film alternatif yakni ada Lensa Mata. Komunitas film yang terus melakukan pemutaran di Malang dari warung-ke warung hingga kampung ke kampung. Dalam Festival Kampung Cempluk yang diselenggarakan di dusun Sumberjo desa Kali Songgo Lensa Mata tak pernah absen melakukan pemutaran. Beberapa sineas muda yang pernah proses di Malang (saat ini masih tinggal di Malang atau sudah tidak) mampu mewarnai perfilman nasional, di antaranya ada Tedika Puri Amanda, Taufan Agustyan, Abdul Malik, Yani Arief dan masih ada beberapa lagi tentunya. Selain itu peran pelatihan produksi Film yang dilakukan oleh Kelas Film Indonesia menurut pengamatan saya juga mememberi andil besar nantinya. Kita lihat saja, ada dua film pelajar hasil pelatihan dari Kelas Film Indonesia lolos dalam penjurian Film Malang Festival 2015 yakni Film Dokumenter “Ajaran Kepang” Karya dari SMK Muhammadiyah 2 Malang dan Film Dokumenter “Langkah Tegar Sang Singa Tua” Karya dari SMK Muhammadiyah 5 Kepanjen. Dan ada beberapa film lagi pada genre fiksi maupun dokumenter yang cukup bagus dari pelajar-pelajar di Malang, mereka berproduksi dengan binaan Kelas Film Indonesia. Apakah ini sebuah penanda kebangkitan film di Malang (?)

  

Malang Film Festival 2015- Sesi Malangan

Malang Film Festival 2015 ke 11 yang diselenggarakan oleh Kine Klub UMM pada tanggal 2-4 April 2015 menarik untuk diamati. Mengambil tema lokalitas. Semua Film yang lolos seleksi mengangkat kelokalan berbagai daerah yang ada Indonesia. Ada sesi yang menarik untuk di saksikan pada  Malang Film Festival khususnya masyarakat Malang, terutama film “Malang Hari Ini”.

Film “Malang Hari Ini” berjenis film non fiksi dan para pembuatnya menyebutnya Associate Picture Story yakni film yang mengandalkan gambar–gambar yang tidak berhubungan namun ketika disatukan dengan editing, maka makna yang muncul dapat ditangkap penonton melalui asosiasi yang terbentuk di benak mereka. Dalam genre ini film yang terkenal Baraka (1992) yang dibuat oleh Ron Fricke. Film tersebutlah yang menginspirasi dalam produksi film “Malang Hari Ini”

Saya sempat mendengar proses prarpoduksi Film “Malang Hari Ini”  ketika saya berkunjung ke markas Kelas Film Malang dan Paradise Picture. Produksi Film yang mengkalaborasikan beberapa komunitas Film di Malang dari kalangan professional, Mahasiswa dan Pelajar: Societo, KopiVoc, Case Picture, Kine Klub dan lainnya. Dan akhirnya saya menonton Film “Malang Hari Ini” di Malang Film Festival 2015 pada seni Malangan. Film yang cukup menarik dan dapat merepresentasikan Malang Hari ini. Ada sebuah keterasingan Kota dari laju pembanguan atas nama modernitas.

Ada dua tempat yang menjadi lokasi penggambilan gambar sejauh yang saya amati yakni Malang Kabupaten dan Malang Kota. Beberapa kata kunci dalam melihat film "Malang Hari Ini": spitualitas, identitas, migrasi, dan modernitas. Meminjam pendapat Muchtar Lubis ketika menggambarkan perubahan manusia Indonesia, pada awalnya spiritualis, gotong royong bergeser menjadi matrealistik. Dikarenakan modernitas barat merangsek masuk dalam alam pikir masyarakat Indonesia pada kahirnya mempengaruhi prilaku masyarakat Indonesia. Terutama pada jaman Orde Baru, nampak sekali menjadi pipa saluran modernisme ala barat yang diwujudkan dalam pembangunan-pembangunan di Indonesia.

Akhirnya modernitas menjadi kebudayaan cara berpikir yang ditelan mentah-mentah menjadi gaya hidup semata. Dapat diambil contoh tentang sebuah kota dikatakan modern ada Mall: bergesernya pasar tradisional menjadi pasar modern. Sehingga ruang-ruang interaksi sosial mengalami keretakan akhirnya menjadi individualis. Kota menjadi pusat arus ekonomi. Orang-orang desa pergi ke kota penghubung hal tersebut adanya alat tranportasi.

Begitulah yang saya tangkap dari “Film Malang Hari Ini”, bermula dari Alun-alun Tugu Kota Malang sebagai penanda lokasi, bergerak menuju visualiasi ruang hening naturalis dan spiritualis (nampak candi-candi di Malang, upacara adat di Malang Selatan, penari topeng, pengrajin topeng), bergerak menuju visualisasi identitas kota yakni Bunga “Malang Kota Bunga” selanjutnya visualisasi ruang riuh yakni stasiun (orang-orang dating ke kota) simbol datangnya modernitas masuk dan manusia-manusia mulai lupa mencangkul untuk menanam tumbuhan berubah menanam: batu bata, batu sungai, pasir. Lalu muncul ruko-ruko berdiri, mall berdiri. Audi ilustrasi garapan dari Redy Eko P yang diinsert memberikan suasana yang mistis di tengah modernitas. Kesakralan pun berubah menjadi profan, konsumerisme menjadi budaya. Ruang-ruang sunyi tiada keriuhan menjelma.

Satu lagi identitas Malang selain bangunan, kesenian, bunga juga visualisai suporter Arema yang meberikan dukungan pada team kesayangannya. Gambaran bahwa sepak bola telah menjadi agama pun nampak.

Diskursus wacana tentang kebudayaan Malang bisa bermula dari Film “Malang Hari Ini” dan juga menjadi refleksi pembangunan Malang lantas bisa dimungkinkan Imajinasi tentang Malang akan mengada pada setiap tubuh-tubuh manusia yang mendiami kotanya.

*Koordinator Pelangi Sastra Malang, Penyuka Film dan Guru di SMK Muhmmadiyah 2 Malang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun