Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa "Burnout" Menjadi Masalah Besar di Tempat Kerja?

10 Juli 2023   19:00 Diperbarui: 10 Juli 2023   19:07 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Burnout', gejala kelelahan kerja ekstrem. Kenapa sering ditemui di tempat kerja? Mari kita dalami.

Apakah pernah merasa seperti ponsel yang baterainya low? Coba bayangkan, berapa kali sehari kita charge ponsel? Tapi, pernahkah kita berpikir untuk 'meng-charge' diri sendiri? Tanpa kita sadari, kerja keras kita sehari-hari, tekanan yang tak henti, dan ekspektasi tinggi dari lingkungan bisa membuat kita jatuh dalam kondisi 'burnout'. Kondisi ini lebih dari sekadar kelelahan, lho. Yuk, kita telusuri lebih dalam lagi.

Mengenal 'Burnout': Lebih Dalam dari Sekadar Kelelahan

Awalnya, setiap hari begitu bersemangat menuju tempat kerja. Tetapi entah mengapa, semakin hari semakin terasa ada beban yang tak kunjung hilang. Apa ini? Burnout? Mari kenali lebih jauh. Burnout itu, hmm, bayangkan seperti ponsel yang terus dipaksa kerja tanpa pernah di-charge. Nggak cuma baterainya yang low, performanya juga jadi turun. Pada akhirnya, ponsel itu bisa mati total. Nah, mirip-mirip itu lah. Tapi ini bukan tentang ponsel, ini tentang kita sebagai manusia di dunia kerja.

Burnout adalah kondisi kelelahan ekstrem, baik fisik maupun mental, yang disebabkan oleh tekanan kerja berlebihan. Nggak main-main, WHO (World Health Organization) sampai mengakui burnout sebagai fenomena medis. Mungkin ada yang bilang, "Ah, lelah itu wajar. Kerja ya pasti lelah." Tapi, burnout bukan tentang lelah biasa. Itu lebih ke rasa habis, kosong, dan kehilangan motivasi dalam bekerja.

Dalam dunia psikologi, burnout dipandang sebagai konsekuensi negatif dari stres kerja kronis. Stres itu wajar, tapi kalau terus-menerus dan nggak ditangani dengan baik, bisa berujung ke burnout. Dan percayalah, burnout bukan hal yang sepele. Ini bukan cuma soal merasa lelah, tapi juga menyangkut produktivitas dan kesejahteraan mental kita.

Membedah Sumber 'Burnout': Bukan Cuma Soal Banyak Kerja

Ternyata, nggak cuma soal banyak kerja. Burnout bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Beban kerja berlebihan, misalnya. Kerja keras itu penting, tapi kalau sudah lebih dari batas kemampuan dan nggak ada waktu untuk istirahat, bisa jadi masalah. Apalagi kalau ditambah dengan tekanan untuk selalu berhasil. Sukses itu penting, tapi kalau terobsesi dan takut gagal, bisa memicu burnout.

Burnout juga bisa disebabkan oleh lingkungan kerja yang nggak mendukung. Contoh, perusahaan yang nggak menghargai karyawan, atasan yang terlalu menuntut, atau rekan kerja yang toxic. Semua ini bisa membuat kita merasa nggak nyaman dan tertekan, yang pada akhirnya bisa memicu burnout.

Dari sisi psikologi, burnout bisa terjadi karena kita nggak menemukan makna dalam pekerjaan. Bayangkan, tiap hari kerja keras, tapi merasa nggak punya tujuan atau merasa apa yang dilakukan nggak berarti. Itu bisa membuat kita kehilangan motivasi dan berujung ke burnout.

Dampak 'Burnout': Lebih dari Sekadar Produktivitas

Seorang kawan, cerita kalau dia merasa burnout. Di awal, dia merasa ini bukan masalah besar. Tapi lama-lama, dia merasa kerjaannya nggak lagi berjalan lancar. Ternyata, burnout bukan cuma masalah produktivitas. Ini juga bisa mempengaruhi kesehatan fisik dan mental.

Burnout bisa membuat kita merasa lelah terus, sakit kepala, dan susah tidur. Bahkan, bisa mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan membuat kita lebih rentan terhadap penyakit. Dari sisi mental, burnout bisa membuat kita merasa cemas, stres, dan bahkan depresi.

Nah, nggak cuma itu. Burnout juga bisa mempengaruhi hubungan sosial kita. Kita bisa jadi lebih mudah marah, sulit berkonsentrasi, dan bahkan menarik diri dari lingkungan sosial. Jadi, ini bukan cuma masalah kerja, tapi juga tentang kehidupan kita sebagai manusia.

Menangani 'Burnout': Pentingnya Seimbang dalam Bekerja

Untuk menangani burnout, kita harus belajar untuk bekerja dengan seimbang. Kerja keras itu penting, tapi jangan sampai melupakan pentingnya istirahat. Istirahat itu bukan tanda lemah, tapi bagian penting dari bekerja.

Selain itu, kita juga harus belajar untuk mengelola stres. Stres itu wajar, tapi kalau nggak ditangani dengan baik, bisa berujung ke burnout. Ada banyak cara untuk mengelola stres, mulai dari olahraga, meditasi, hingga konseling.

Dan yang terakhir, kita harus belajar untuk mencari makna dalam pekerjaan. Kerja itu nggak cuma soal mencari uang, tapi juga tentang mencapai tujuan dan merasa puas dengan apa yang kita lakukan.

Membangun Lingkungan Kerja yang Sehat: Solusi Jangka Panjang

Dalam menangani burnout, membangun lingkungan kerja yang sehat menjadi hal yang fundamental. Kalau tempat kerja adalah sumber masalahnya, maka harus ada perubahan dari dalam. Misalnya, perusahaan harus belajar untuk menghargai karyawan, memberi beban kerja yang seimbang, dan menghindari budaya kerja yang toxic.

Selain itu, perusahaan juga bisa menerapkan program kesejahteraan karyawan. Contohnya, memberikan fasilitas olahraga, program konseling, dan waktu istirahat yang cukup. Semua ini bisa membantu karyawan untuk mengelola stres dan mencegah burnout.

Pada akhirnya, lingkungan kerja yang sehat bisa membantu kita untuk bekerja dengan lebih baik dan lebih bahagia. Kerja itu penting, tapi kesejahteraan karyawan juga nggak kalah penting.

Kesadaran akan 'Burnout': Awal Dari Solusi

Kesadaran akan burnout juga menjadi langkah awal dalam mengatasi masalah ini. Banyak dari kita yang merasa lelah, kosong, dan kehilangan motivasi, tapi nggak sadar kalau ini adalah gejala burnout. Kita sering mengabaikannya, berpikir bahwa itu adalah hal yang wajar dalam bekerja.

Sebenarnya, kita perlu belajar untuk mendengarkan diri kita sendiri. Kalau merasa lelah berlebihan, stres, dan kehilangan motivasi, mungkin ini adalah tanda-tanda burnout. Dan kalau sudah begitu, kita harus berani untuk mencari bantuan. Nggak ada salahnya untuk bicara dengan orang terdekat, atasan, atau bahkan konselor.

Kita juga perlu memahami bahwa burnout bukanlah kegagalan. Itu adalah tanda bahwa kita perlu merubah cara kerja kita, merubah lingkungan kerja, atau merubah sikap kita terhadap kerja.

'Burnout' dan Generasi Muda: Mengapa Penting Untuk Diperhatikan?

Nah, kalau bicara tentang burnout, ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh generasi muda. Kenapa? Karena generasi muda adalah generasi yang penuh semangat, berenergi, dan memiliki banyak harapan. Tapi di sisi lain, mereka juga berpotensi mengalami burnout karena tekanan untuk sukses, beban kerja, dan lingkungan kerja yang nggak mendukung.

Maka dari itu, generasi muda perlu belajar untuk bekerja dengan seimbang, mengelola stres, dan mencari makna dalam pekerjaan. Mereka juga perlu belajar untuk membangun lingkungan kerja yang sehat dan mendukung.

Jadi, burnout bukan cuma masalah individu, tapi juga masalah generasi. Kita perlu lebih memahami dan memperhatikan isu ini, untuk masa depan kita sebagai manusia dan sebagai bangsa.

Kesimpulan: 'Burnout' adalah Masalah Kita Semua

Jadi, burnout itu bukan cuma soal lelah karena kerja. Ini tentang bagaimana kita bekerja, bagaimana kita mengelola stres, dan bagaimana kita mencari makna dalam pekerjaan. Dan yang terpenting, ini bukan cuma masalah individu, tapi juga masalah organisasi dan masyarakat.

Kita perlu lebih memahami dan memperhatikan isu burnout. Karena pada akhirnya, ini bukan cuma soal produktivitas, tapi juga tentang kesejahteraan mental dan kehidupan kita sebagai manusia.

Referensi:

  1. World Health Organization. (2019). Burn-out an "occupational phenomenon": International Classification of Diseases. https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases
  2. Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Understanding the burnout experience: recent research and its implications for psychiatry. World Psychiatry, 15(2), 103--111. https://doi.org/10.1002/wps.20311
  3. Schaufeli, W. B., & Taris, T. W. (2014). A critical review of the job demands-resources model: Implications for improving work and health. In Brid
  4. Halbesleben, J. R., & Buckley, M. R. (2004). Burnout in organizational life. Journal of management, 30(6), 859-879.
  5. Schonfeld, I. S., & Bianchi, R. (2016). Burnout and depression: Two entities or one? Journal of clinical psychology, 72(1), 22-37.
  6. Leiter, M. P., & Maslach, C. (2003). Areas of worklife: A structured approach to organizational predictors of job burnout. In Emotional and physiological processes and positive intervention strategies (pp. 91-134). Emerald Group Publishing Limited.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun