Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengapa "Impostor Syndrome" Menjadi Fenomena di Tempat Kerja?

7 Juli 2023   19:00 Diperbarui: 8 Juli 2023   22:12 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Tengyart on Unsplash

Mengapa Fenomena Ini Menjadi Viral di Dunia Kerja?

Fenomena 'Impostor Syndrome' ini semakin terlihat dalam dunia kerja. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah persaingan di tempat kerja yang membuat seseorang merasa perlu untuk selalu menunjukkan performa terbaik.

Selain itu, tekanan sosial dan budaya kerja yang kompetitif juga bisa memicu munculnya 'Impostor Syndrome'. Sebagai contoh, budaya kerja yang mendorong perfeksionisme dan kinerja tinggi dapat membuat seseorang merasa takut akan kegagalan dan penipuan.

Lebih dari itu, era digital dan media sosial juga berperan dalam meningkatnya fenomena ini. Di media sosial, orang-orang sering menampilkan versi terbaik mereka, menciptakan standar yang mungkin sulit untuk dicapai.

Menelusuri Jejak 'Impostor Syndrome' dalam Psikologi

Dalam dunia psikologi, 'Impostor Syndrome' bukanlah suatu diagnosis, tetapi lebih kepada perasaan dan pengalaman subyektif. Ada berbagai teori yang mencoba menjelaskan fenomena ini. Salah satunya adalah teori atribusi, yang menunjukkan bagaimana seseorang menafsirkan keberhasilan dan kegagalan mereka.

Seseorang dengan 'Impostor Syndrome' cenderung menafsirkan keberhasilan sebagai hasil dari faktor eksternal, seperti keberuntungan atau usaha yang berlebihan, dan bukan karena kemampuan atau keterampilan mereka. Sebaliknya, mereka cenderung menafsirkan kegagalan sebagai bukti dari ketidakcukupan mereka.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Bagi yang merasa mengalami 'Impostor Syndrome', ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah menyadari dan mengakui perasaan ini. Menyadari bahwa tidak sendirian dalam merasakan ini bisa menjadi langkah pertama untuk mengatasi perasaan tersebut.

Selain itu, mencari dukungan dari orang lain juga bisa membantu. Misalnya, berbicara dengan mentor, atasan, atau rekan kerja tentang perasaan ini. Mereka mungkin bisa memberikan perspektif baru atau memvalidasi pencapaian dan kemampuan.

Terakhir, penting untuk belajar menerima pujian dan menghargai pencapaian sendiri. Bukan berarti menjadi sombong, tetapi lebih kepada pengakuan atas kerja keras dan usaha yang telah dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun