Efek ini diperparah oleh persepsi bahwa kontribusi individu akan 'hilang' di antara usaha kolektif kelompok. Hal ini bisa mengurangi motivasi dan akhirnya menurunkan produktivitas keseluruhan.
Sebuah Contoh dalam Kehidupan Nyata
Mengambil contoh sederhana, mari kita pikirkan tentang proyek kelompok di sekolah. Ketika ada lima orang dalam kelompok dan tugasnya adalah membuat presentasi, biasanya satu atau dua orang yang akhirnya melakukan sebagian besar pekerjaan.
Ketika menunggu batas waktu pengumpulan, si "penyelamat" kerap berakhir dengan menyelesaikan seluruh pekerjaan, sementara anggota lainnya mungkin hanya membantu sedikit atau bahkan tidak sama sekali. Ini adalah gambaran fenomena 'social loafing' dalam konteks yang sangat nyata dan mudah dimengerti.
Menumbuhkan Keterlibatan dalam Kerja Kelompok
Pertanyaannya, bagaimana cara mengatasi fenomena ini? Jawabannya mungkin terletak pada motivasi dan pengakuan. Ketika setiap individu merasa bahwa kontribusinya penting dan dihargai, mereka lebih mungkin untuk memberikan usaha terbaiknya.
Pemimpin kelompok yang baik mampu mendistribusikan tugas secara merata dan memastikan setiap anggota merasa bahwa kontribusinya dihargai. Keterlibatan ini dapat mendorong semangat dan meningkatkan produktivitas kelompok secara keseluruhan.
Teknologi dan Era Digital: Apakah Menyumbang Pada Fenomena Ini?
Seiring berkembangnya teknologi, fenomena 'social loafing' juga semakin terlihat. Dalam konteks pekerjaan jarak jauh dan pertemuan virtual, semakin mudah bagi anggota kelompok untuk 'bersembunyi' dan mengurangi usaha mereka.
Namun, sebaliknya, teknologi juga memberikan alat untuk melacak kontribusi individu dan memberikan pengakuan yang sesuai. Jadi, meski tantangannya semakin besar, begitu pula peluang untuk mengatasinya.
Social Loafing dan Budaya Kerja Indonesia