Kita mungkin berpikir bahwa dengan ikut serta dalam "cancel culture", kita membantu masyarakat untuk mencapai standar moral yang lebih tinggi.Â
Namun, tanpa kita sadari, kita justru bisa menjadi penindas. Penghakiman yang tidak menghargai aspek kemanusiaan malah akan mengecilkan ruang bagi pertumbuhan dan pemahaman.
Hadirnya "cancel culture" menantang kita untuk introspeksi diri. Apakah dengan menghakimi dan mengucilkan, kita bisa menjadi manusia yang lebih baik?Â
Apakah dengan begitu kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih baik? Atau sebaliknya, apakah kita malah jatuh pada siklus penghakiman yang tak berujung?
"Cancel Culture": Penanda Masa Depan Sosial Media?
"Cancel culture" bisa menjadi penanda tentang bagaimana masa depan sosial media. Dengan berbagai dinamika dan tantangannya, sosial media bisa menjadi alat yang sangat kuat untuk membentuk masyarakat.Â
Namun, perlu juga diingat bahwa sosial media juga bisa menjadi alat yang merusak jika tidak digunakan dengan bijaksana.
Banyak dari kita mungkin merasa bahwa "cancel culture" adalah fenomena yang negatif dan berbahaya. Namun, "cancel culture" juga bisa menjadi momen introspeksi kolektif tentang bagaimana kita berinteraksi di sosial media.Â
Dengan menyadari potensi negatif dari "cancel culture", kita bisa berusaha untuk menciptakan dinamika yang lebih positif dalam bermedia sosial.
Memandang "cancel culture" sebagai penanda masa depan sosial media juga bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk menjadi lebih bertanggung jawab dalam bermedia sosial. Dengan demikian, kita bisa berkontribusi dalam menciptakan masa depan sosial media yang lebih sehat dan konstruktif.
Refleksi Akhir: Menuju Budaya Lebih Bijaksana