Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apakah Hedonisme Benar-benar Membawa Kebahagiaan?

10 Juni 2023   19:00 Diperbarui: 10 Juni 2023   19:04 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hedonisme, sebuah kata yang seringkali mendapat cap negatif. Seolah menjadi simbol dari gaya hidup yang hanya berorientasi pada kesenangan semata. Tapi, adakah kebahagiaan sejati di balik pandangan hedonisme ini? Apakah kebahagiaan hanyalah soal mengejar kesenangan tak berujung? Mari buka mata dan pikiran, adakah lebih dari yang tampak di permukaan ini?

Mungkin saja sejumput rasa penasaran muncul ketika mendengar kata 'Hedonisme'. Bayangan kegiatan seru, meriah, dan penuh warna seringkali menjadi ikon dari hedonisme. Tapi, jangan terburu-buru memvonis. Apakah benar bahwa hedonisme hanyalah soal mengejar kesenangan dan bukan tentang mencari makna kehidupan? Yuk, kaji lebih jauh!

Judul yang Kita Mulai, "Hedonisme, Apa Itu?"

Tentu sudah pernah mendengar tentang hedonisme, kan? Bisa jadi dalam keseharian, hedonisme ini menjadi label untuk seseorang yang gemar mengejar-ngejar kesenangan. Biasanya, yang terlintas adalah gambaran orang-orang yang suka pesta, traveling, belanja barang branded, dan sebagainya. Apakah pandangan ini benar? Mari kita lihat dari kacamata filsafat.

Hedonisme, dalam dunia filsafat, adalah pandangan yang menganggap bahwa kebahagiaan atau kesenangan adalah tujuan utama dalam hidup. Dalam konteks ini, hedonisme bukan sekadar mengejar hura-hura, namun lebih kepada mengupayakan agar diri merasa senang dan puas.

Tapi tunggu dulu, tak semudah itu ferguso! Ada dua tipe hedonisme, yaitu hedonisme psikologis dan hedonisme etis. Hedonisme psikologis berargumen bahwa manusia secara alamiah mencari kesenangan dan menghindari penderitaan. Sementara hedonisme etis lebih fokus pada pandangan bahwa kesenangan adalah satu-satunya hal yang baik secara moral.

Melihat Lebih Dekat, "Hedonisme dan Kebahagiaan"

Dari penjelasan sebelumnya, mungkin ada yang berpikir, "Nah, kalau begitu, hedonisme itu benar kan? Toh, siapa yang tidak ingin bahagia?" Eits, jangan terburu-buru. Kebahagiaan itu kompleks dan subjektif.

Sebagai manusia, setiap orang memiliki standar dan pengertian kebahagiaan yang berbeda-beda. Ada yang merasa bahagia ketika berhasil mendapatkan barang impian, ada yang merasa bahagia ketika mampu membantu orang lain, ada pula yang merasa bahagia ketika berhasil mencapai target atau tujuan yang telah ditetapkan.

Nah, dalam hedonisme, kebahagiaan sering diartikan sebagai kesenangan fisik dan mental. Artinya, untuk meraih kebahagiaan, kita harus mencari dan melakukan hal-hal yang membuat kita merasa senang. Namun, apa benar kebahagiaan itu hanya soal merasakan kesenangan?

Pikir-Pikir Lagi, "Apakah Kesenangan Itu Sama dengan Kebahagiaan?"

Kesenangan dan kebahagiaan, dua kata yang sering dianggap sama. Padahal, ada perbedaan mendasar antara keduanya. Kesenangan biasanya bersifat sementara dan lebih kepada reaksi fisik dan mental terhadap sesuatu yang menyenangkan. Contohnya, merasa senang ketika makan makanan kesukaan atau merasa senang ketika mendapatkan pujian.

Sementara kebahagiaan lebih kompleks dan mendalam. Kebahagiaan melibatkan rasa puas, damai, dan merasa hidup kita penuh makna. Kebahagiaan bukan sekadar reaksi sejenak terhadap sesuatu yang menyenangkan, tapi kondisi emosi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Seorang yang mengejar hedonisme mungkin akan merasa senang setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, rasa senang tersebut biasanya hanya bertahan sebentar. Setelah itu, muncul keinginan baru, dan siklus ini terus berulang. Artinya, dalam hedonisme, kebahagiaan menjadi sesuatu yang harus selalu dikejar dan tak pernah cukup.

Sebuah Ilustrasi, "Kisah Tomy dan Perjalanan Mencari Kebahagiaan"

Nah, cobalah bayangkan Tomy, seorang anak muda yang sangat menikmati hidup dan kerap melakukan berbagai aktivitas yang menyenangkan. Tomy suka traveling, party, belanja barang-barang mewah, dan sebagainya. Tomy menganggap dirinya hedonis dan merasa bahagia dengan kehidupannya.

Tapi, suatu ketika, Tomy mulai merasa bosan dan jenuh. Dia merasa kehidupannya kurang berarti meskipun dia selalu melakukan hal-hal yang menyenangkan. Tomy merasa ada yang kurang, meski dia tidak bisa menjelaskan apa itu.

Tomy merasakan sesuatu yang mungkin banyak dirasakan oleh kita semua. Sebuah rasa bahwa kebahagiaan itu bukan hanya soal mengejar kesenangan, namun juga mencari makna dan tujuan dalam hidup.

Membuka Wawasan, "Hedonisme atau Eudaimonia?"

Di balik hedonisme, ada pandangan filsafat lain yang bisa menjadi pertimbangan. Itulah eudaimonia, pandangan yang diajukan oleh Aristoteles, filsuf Yunani kuno. Aristoteles berpendapat bahwa tujuan hidup manusia bukanlah mengejar kesenangan, melainkan mencapai "eudaimonia," atau kebahagiaan sejati dan keberhasilan manusiawi.

Menurut Aristoteles, eudaimonia tidak hanya tentang merasa senang, tapi juga tentang berkembang dan mencapai potensi terbaik kita sebagai manusia. Kebahagiaan sejati bukanlah tentang merasa senang setiap saat, melainkan tentang memiliki hidup yang penuh makna dan berharga.

Menyimpulkan, "Hedonisme dan Kebahagiaan: Sebuah Pandangan"

Jadi, apakah hedonisme benar-benar membawa kebahagiaan? Tergantung pada bagaimana definisi kebahagiaan itu sendiri. Jika kebahagiaan didefinisikan sebagai pengejaran kesenangan yang tak berujung, mungkin bisa dikatakan iya. Namun, jika kebahagiaan lebih kepada merasa hidup penuh makna dan berharga, mungkin jawabannya tidak.

Mengingat kebahagiaan itu subjektif, tak ada jawaban yang mutlak. Setiap orang punya cara sendiri dalam mencari dan merasakan kebahagiaan. Yang penting, mari jangan lupa bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang merasakan kesenangan, tapi juga tentang merasa hidup ini berarti dan berharga. Setiap tindakan yang dilakukan, meskipun mungkin terlihat menyenangkan dan membuat bahagia sesaat, tetap harus dipertimbangkan dampak jangka panjangnya.

Kesimpulan, "Sebuah Perspektif Baru tentang Kebahagiaan"

Dengan demikian, pandangan bahwa hedonisme selalu membawa kebahagiaan bisa jadi kurang tepat. Tidak ada yang salah dengan mencari kesenangan, namun apabila menjadi tujuan utama dalam hidup, maka potensi untuk merasakan kebahagiaan yang lebih dalam dan abadi bisa terabaikan.

Sebagai anak muda, tentu ada banyak hal yang bisa dikejar dan dinikmati. Ada banyak kesenangan yang bisa ditemukan. Namun, tetap ingat bahwa mencari kebahagiaan tidak hanya melalui jalur hedonisme. Ada banyak cara lain untuk mencapai kebahagiaan, dan salah satunya adalah melalui pencarian makna dan tujuan hidup yang sesungguhnya.

Setiap individu memiliki hak untuk menentukan jalannya sendiri, termasuk dalam mengejar kebahagiaan. Mungkin ada yang merasa bahagia dengan menjadi hedonis, dan itu hak mereka. Namun, penting juga untuk selalu berpikir kritis dan merenungkan apakah apa yang dilakukan sudah memberikan kebahagiaan sejati atau hanya kebahagiaan sesaat.

Referensi:

  1. Crisp, R. (2006). Hedonism Reconsidered. Philosophy and Phenomenological Research, Vol. 73, No. 3, pp. 619-645.

  2. Annas, J. (1993). The Morality of Happiness. New York: Oxford University Press.

  3. Baggini, J., & Fosl, P. S. (2007). The Ethics Toolkit: A Compendium of Ethical Concepts and Methods. Wiley-Blackwell.

  4. Waterman, A. S. (1993). Two Conceptions of Happiness: Contrasts of Personal Expressiveness (Eudaimonia) and Hedonic Enjoyment. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 64, No. 4, pp. 678-691.

  5. Hursthouse, R., & Pettigrove, G. (2018). Virtue Ethics. Stanford Encyclopedia of Philosophy.

  6. Bok, S. (2010). Exploring Happiness: From Aristotle to Brain Science. Yale University Press.

  7. Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On Happiness and Human Potentials: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-being. Annual Review of Psychology, Vol. 52, No. 1, pp. 141-166.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun