Ada suatu fenomena yang cukup menarik, sekaligus menjengkelkan, di dunia maya saat ini: flexing. Para pecinta flexing, istilah yang digunakan untuk menggambarkan mereka yang senang memamerkan harta, pencapaian, dan segala hal yang menunjukkan status sosial, menjadi bahan perbincangan hangat dan seringkali menjadi sasaran kritik. Namun, sebelum melanjutkan dengan sudut pandang yang lebih dalam, mari kita kaji dulu apa yang menyebabkan seseorang suka flexing dan mengapa hal ini menyebalkan.Â
Mari kita coba lihat video Tiktok yang cukup menggelitik ketika ada seorang Pria yang mencoba flexing, entah pada teman atau kenalannya. Padahal bukan punya dia *Ooppss
@lurkz_ he was up #fyp #viral #xyzbca #funny  original sound - lurkz
Mengapa seseorang suka flexing? Menurut filsafat, jawabannya bisa ditemukan dalam konsep "keinginan akan pengakuan". Pengakuan ini penting bagi manusia, sebab dianggap sebagai sumber kebahagiaan dan kepuasan. Hal ini berkaitan dengan teori Abraham Maslow tentang hierarki kebutuhan manusia. Dalam teori ini, salah satu tingkat kebutuhan manusia yang paling tinggi adalah penghargaan (esteem) yang mencakup rasa percaya diri, pencapaian, dan rasa dihargai oleh orang lain.
Maka, flexing bisa dianggap sebagai salah satu cara seseorang mencari pengakuan dan penghargaan dari lingkungan sosialnya. Namun, ada beberapa hal yang membuat fenomena ini cukup menjengkelkan bagi sebagian orang.
Pertama, flexing seringkali dianggap sebagai tindakan narsis dan eksibisionis. Mereka yang suka flexing, terlebih dalam dunia maya, sering kali mengeksploitasi media sosial sebagai ajang pameran diri. Mengapa hal ini dianggap menyebalkan? Karena tindakan tersebut membuat orang merasa tidak nyaman dan terintimidasi. Flexing menciptakan tekanan sosial dan ketidakseimbangan dalam hubungan antarmanusia, sehingga membuat orang yang tidak suka flexing merasa terancam.
Kedua, flexing bisa menjadi tanda ketidakpuasan diri dan kecemasan. Mereka yang suka flexing mungkin merasa bahwa diri mereka tidak cukup baik, sehingga mereka mencoba menutupi perasaan tersebut dengan menunjukkan pencapaian dan harta yang mereka miliki. Sayangnya, kebahagiaan yang didapatkan dari flexing bersifat sementara, karena kebutuhan akan pengakuan terus menerus.
Analogi yang relevan untuk menjelaskan fenomena flexing adalah seperti balon. Balon memiliki karakteristik yang menarik perhatian, besar, dan berwarna-warni. Namun, ketika balon ditiup terlalu besar, ia akan meletus. Demikian pula dengan flexing, jika terlalu berlebihan, akan menimbulkan dampak negatif bagi pelakunya, seperti penolakan dari lingkungan sosial dan rasa tidak puas yang terus menerus.
Pendekatan filsafat dalam mengkaji fenomena ini menunjukkan bahwa manusia selalu mencari makna dalam hidup mereka. Namun, pencarian makna ini bisa saja berbeda-beda antara individu. Beberapa orang mungkin merasa bahwa mencapai suatu tingkat pengakuan dan kekayaan adalah cara terbaik untuk mencari makna, sementara orang lain mungkin merasa bahwa hal-hal seperti hubungan yang baik dengan orang lain atau pencapaian pribadi yang lebih dalam adalah cara yang lebih baik untuk mencapai kebahagiaan dan kepuasan.
Ada baiknya kita melihat lebih jauh tentang makna kebahagiaan itu sendiri. Filsuf Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan tercapai ketika seseorang hidup dengan baik dan melakukan tindakan-tindakan yang bermanfaat. Jadi, menurut pandangan ini, flexing mungkin bukan cara yang efektif untuk mencapai kebahagiaan, karena tindakan tersebut lebih fokus pada diri sendiri dan pencapaian materi, bukan pada hubungan yang baik dengan orang lain atau tindakan yang bermanfaat bagi banyak orang.
Pendapat tentang flexing yang menyebalkan ini bisa juga dilihat dari sudut pandang etika. Filsuf Immanuel Kant mengatakan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang didasarkan pada kewajiban moral, bukan pada keinginan atau kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, flexing bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak etis, karena lebih didorong oleh keinginan untuk menunjukkan kekayaan dan status sosial daripada oleh kewajiban moral untuk membantu orang lain atau berbuat baik bagi masyarakat.
Selain itu, ada juga perspektif yang menilai fenomena flexing dari sudut pandang keadilan sosial. Filsuf John Rawls berpendapat bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang menjamin hak-hak dasar dan kesempatan yang sama bagi semua anggotanya. Dalam masyarakat seperti ini, tindakan flexing bisa dianggap sebagai bentuk ketidakadilan, karena menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara orang kaya dan miskin serta menghambat terwujudnya kesempatan yang sama bagi semua orang.
Dari berbagai sudut pandang filsafat yang telah dijelaskan di atas, bisa disimpulkan bahwa fenomena flexing memang cukup menyebalkan dan tidak selaras dengan nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh banyak orang. Namun, penting juga untuk tidak hanya mengkritik fenomena ini, tetapi juga mencoba memahami mengapa orang tertarik untuk melakukan flexing dan bagaimana kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih adil dan harmonis, di mana kebahagiaan dan kepuasan tidak hanya didasarkan pada kekayaan materi, tetapi juga pada hubungan yang baik dengan sesama dan kontribusi positif bagi masyarakat.
Sebagai penutup, dapat dinyatakan bahwa flexing adalah fenomena yang memang cukup menjengkelkan, namun perlu dicermati dan dipahami alasan di baliknya. Dalam menghadapi fenomena ini, kita harus mengedepankan nilai-nilai moral, etika, dan keadilan sosial untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, di mana kebahagiaan dan kepuasan tidak hanya didasarkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H