Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nilai Berharga dari Derita

15 April 2023   23:07 Diperbarui: 17 April 2023   04:05 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa, air mata mengalir deras ketika nonton film drama atau mendengar kisah-kisah menyedihkan yang seringkali menggugah hati. Tapi, pernahkah kita merenung, mengapa kita bisa begitu tergerak oleh kisah derita orang lain? 

Mengapa derita menjadi momen yang seringkali menyentuh perasaan kita? Nah, dalam artikel ini kita akan mencoba mengkaji nilai berharga dari derita dengan pendekatan filsafat.

Mari mulai dengan pandangan seorang filsuf terkenal, Friedrich Nietzsche. Menurut Nietzsche, derita adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, ia menyatakan "Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat." 

Dari sudut pandang Nietzsche, derita bukanlah hal yang harus dihindari. Sebaliknya, derita membuat kita tumbuh, mengasah keberanian dan ketahanan diri. Jadi, bukankah derita sebenarnya menjadi titik balik yang bisa membawa kita menuju ke arah yang lebih baik?

Terlepas dari pandangan Nietzsche, ada pula pandangan lain dalam filsafat mengenai derita, seperti yang diungkapkan oleh Arthur Schopenhauer. Menurutnya, derita merupakan konsekuensi dari keinginan manusia yang tak terpuaskan. 

Schopenhauer menekankan bahwa kebahagiaan adalah ketidakberadaan derita. Dari sudut pandang ini, derita menjadi semacam alarm yang mengingatkan kita untuk mengevaluasi dan merefleksikan keinginan-keinginan kita. Apakah keinginan itu penting, atau justru menjadi racun yang membuat kita terus menderita?

Kita juga tak bisa melupakan pandangan seorang filsuf besar, Stoik Epiktetus, yang mengatakan "Bukanlah peristiwa itu sendiri yang membuat kita menderita, melainkan pandangan kita terhadap peristiwa tersebut." Menurut Epiktetus, kita memiliki kekuatan untuk memilih bagaimana kita meresapi dan merespon peristiwa yang menyakitkan. Dari perspektif ini, derita menjadi pelajaran untuk melatih kontrol diri dan membangun kebijaksanaan dalam menyikapi peristiwa dalam hidup kita.

Ada lagi pandangan dari filsafat Buddha yang mengajarkan "Empat Kebenaran Mulia". Dari keempat kebenaran tersebut, yang pertama adalah "Dukkha" yang berarti penderitaan atau ketidakpuasan. 

Dalam ajaran Buddha, derita adalah kondisi alamiah manusia yang tak terhindarkan. Namun, yang menarik adalah ajaran ini juga mengajarkan bahwa kita bisa mengatasi derita dengan melatih pikiran, melalui meditasi, dan mengikuti "Jalan Tengah". Jadi, derita juga menjadi jalan pembelajaran untuk mengatasi penderitaan dalam hidup.

Berdasarkan kajian filsafat yang telah dijelaskan, derita memiliki berbagai nilai berharga yang bisa kita petik. Kita bisa melihat derita sebagai kesempatan untuk tumbuh, evaluasi diri, melatih kontrol diri, dan mengatasi penderitaan dengan mengikuti jalan yang benar. 

Sekarang, mari kita bahas tentang pemikiran pribadi mengenai makna derita dan bagaimana kita bisa memaknainya dalam kehidupan sehari-hari.

Derita bisa dianggap sebagai teman yang tak diundang dalam hidup kita. Namun, bukankah teman adalah mereka yang hadir untuk mengajarkan kita tentang kehidupan, mengingatkan kita tentang nilai-nilai yang seharusnya kita pegang teguh, serta memperkaya hidup kita? Dalam hal ini, derita juga bisa dianggap sebagai teman yang tak tergantikan.

Dalam konteks hubungan antarmanusia, derita seringkali membuka pintu empati dan solidaritas. Ketika kita merasakan derita orang lain, kita belajar untuk lebih peka terhadap perasaan dan kebutuhan mereka. 

Dalam proses ini, kita membangun rasa kebersamaan dan saling menguatkan. Jadi, derita bisa menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan sesama manusia.

Di sisi lain, derita juga bisa dianggap sebagai sarana untuk memahami diri sendiri. Ketika kita menghadapi derita, kita dihadapkan pada keadaan yang memaksa kita untuk menggali lebih dalam tentang diri kita. 

Apa yang sebenarnya kita inginkan? Apa yang sebenarnya kita butuhkan? Apa yang sebenarnya kita hargai dalam hidup? Jawaban-jawaban ini akan membantu kita menemukan jati diri dan menjalani hidup dengan lebih bijaksana.

Terkadang, derita juga menjadi pemicu kreativitas. Banyak seniman, penulis, dan musisi yang menghasilkan karya-karya mengagumkan berkat inspirasi yang diambil dari pengalaman derita mereka. Dalam konteks ini, derita berperan sebagai sumber ide yang melahirkan karya seni yang mampu menggugah perasaan dan menginspirasi banyak orang.

Sebagai penutup, derita memang tak bisa dihindari dalam kehidupan manusia. Namun, kita bisa memilih bagaimana kita memaknai derita yang kita alami. Apakah kita akan menyerah dan larut dalam penderitaan, atau justru menjadikannya sebagai pelajaran dan inspirasi untuk menjalani hidup dengan lebih bijaksana? Pilihan ada di tangan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun