Mohon tunggu...
Mary Denova
Mary Denova Mohon Tunggu... -

Simple Minded Girl, Little Naive and Coffee Addict

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bahaya Penyalahgunaan Obat Keras (PCC) di Masyarakat

15 Oktober 2017   22:28 Diperbarui: 22 Oktober 2017   22:27 2293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu belakangan ini dunia kesehatan terutamanya di kalangan Apoteker diguncang dengan adanya berita penangkapan oknum Apoteker dan Asisten Apoteker. Mereka kabarnya tertangkap tangan menjual obat keras tanpa resep seperti trihexypenidyl (THP) dan Tramadol kepada masyarakat awam. Kondisi ini diperparah dengan peredaran obat PCC yang juga termasuk obat keras dan sebenarnya ijin edarnya untuk produk patennya sudah dibatalkan oleh BPOM sejak tahun 2013 oleh oknum ibu rumah tangga di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Kalau memang ijin edarnya dibatalkan kenapa bisa beredar di masyarakat dan kalau memang obat keras itu harus dibeli dengan resep mengapa sampai sekarang masih ada yang melayani pembelian obat keras tanpa resep. Kedua pertanyaan itu pasti tersirat di benak kita, oleh karenanya penulis ingin membahasnya dari sudut pandang seorang tenaga kesehatan.

Apa itu PCC dan Kenapa peredarannya dilarang?

PCC adalah obat yang terdiri dari campuran Paracetamol, Caffeine dan Carisoprodol, dibuat dengan tujuan untuk mengobati nyeri punggung, obat sakit jantung, melemaskan otot yang kaku, menghilangkan nyeri hebat, memperbaiki pola tidur pada penderita fibriomyalgia dan mengatasi sakit kepala dan migraine. Ketiganya memberikan efek sentral karena menekan sistem syaraf pusat yang dikontrol oleh otak, sehingga dengan mengkonsumsi satu obat ini pasien mendapat efek pengobatan berbagai keluhan tersebut diatas. Walaupun efek tiap zat dalam komposisi itu berbeda satu sama lain namun saling mendukung (sinergis).

Jika Paracetamol dan Caffeine dalam satu sediaan obat sering kita temui di masyarakat maka kenapa campurannya dengan Carisoprodol menyebabkan peredarannya dilarang. Ternyata efek penggunaan jangka lama dari Carisoprodol yaitu kejang, mual, nyeri seluruh tubuh dan halusinasi yang menyebabkan waktu ijin edarnya belom dicabut obat ini hanya boleh digunakan tidak lebih dari 3 minggu dan hanya maksimal 350 mg 3 kali sehari untuk dewasa dan anak 12 tahun keatas. Penggunaan Carisoprodol bersamaan dengan alkohol justru akan lebih memperparah efek samping yang terjadi apalagi jika dikonsumsi dalam dosis yang cukup besar sekali minum.

Karena mempengaruhi syaraf pusat dan otak maka penggunaan PCC juga dapat menyebabkan perubahan perilaku pada pemakainya, salah satu contohnya adalah anak - anak yang mengamuk di Kendari. Penyebabnya adalah reaksi obat di syaraf pusat yang menimbulkan halusinasi, menurunkan hingga menghilangkan kesadaran pemakainya. Akibatnya pemakai cepat merasa panik, cepat mengalami perubahan suasana hati (mood swing), dan kehilangan kontrol hingga berani meloncat ke air dan berlaku seperti zombie.

Lalu jika memang ijin edar PCC sudah dibatalkan sejak 2013 kenapa di 2017 barang tersebut masih bisa beredar di masyarakat? 

Berikut asumsi yang dapat penulis kemukakan berkaitan dengan pertanyaan tersebut:

  1. Sebenarnya setiap obat yang diproduksi mempunyai masa kadaluarsa (expired date) 3-5 tahun tergantung dari hasil pengujian kualitasnya di pabrik oleh bagian QC. Jika obat itu mempunyai masa simpan hingga 5 tahun maka obat tersebut tentu masih dapat digunakan sebelum 2018 dan mungkin saja pabrik yang memproduksi sediaan obat tersebut sudah "terlanjur" memasarkan produknya sebelum peraturan larangan beredar dari BPOM tersebut keluar otomatis barang yang beredar itu statusnya memang illegal, namun produknya bukan obat palsu.Penarikan produk yang telah dipasarkan tersebut mungkin telah dilakukan namun seperti diketahui bahwa biaya yang dibutuhkan untuk recall (penarikan produk) dari pasaran akan lebih besar daripada ongkos pemasarannya selain itu biasanya tidak semua barang dapat di recall oleh produsen dan pasti tidak tercapai target recallnya.
  2. Obat dengan kandungan Carisoprodol yang beredar di masyarakat sekarang ini adalah produk illegal yang memang diproduksi dengan ijin edar palsu atau bahkan tanpa ijin edar dari BPOM yang dibuat dengan tujuan rekreational(bukan untuk mengobati penyakit atau gejalanya namun untuk senang-senang saja) oleh pabrik rumahan (home industry) yang tentunya tidak punya ijin produksi obat dan bukan industri farmasi.
  3. Obat dengan kandungan Carisoprodol yang beredar adalah produk obat palsu, maksudnya adalah obat tersebut sebenarnya masa kadaluarsanya sudah lewat namun tetap dijual seperti obat yang masa simpannya masih panjang dengan menghapus expired datenya atau memberikan tanggal ED yang baru di kemasannya karena kemasan pembungkusnya masih bagus.

Menurut penulis, ketiga asumsi itu yang paling masuk akal berkaitan dengan timbulnya berita penyalahgunaan campuran obat PCC ini. Sebenarnya penggunaan obat PCC di masyarakat tidaklah berbahaya asalkan dipakai sesuai takaran dan tujuan penggunaannya, masalahnya yang menjadikan obat ini sampai ditarik ijin edarnya adalah karena penggunaan yang tidak sesuai dosis yaitu 3-5 tablet sekali minum karena yang diharapkan oleh pyang mengkonsumsi obat itu adalah efek sampingnya bukan indikasinya.

 Sehingga kisruh peredaran obat PCC baru-baru ini adalah issue lama yang memang sering kita temui di masyarakat dan bukan hal yang insidentil saat ini saja bahkan perang terhadap obat dengan kandungan Carisoprodol telah dilakukan oleh BPOM sejak diberlakukannya pembatalan ijin edar tersebut.

Begitu juga tentang peredaran obat keras lainnya yang seharusnya dibeli dengan resep namun ternyata tanpa resep pun masih dilayani seperti contohnya THP dan Tramadol. Kedua obat tersebut adalah obat yang memang legal diperjual belikan selama ada resep dokter untuk menebusnya, namun kadang banyak orang yang dapat membelinya tanpa resep dokter dan masih ada oknum apotek yang melayani, walaupun mungkin sekarang jumlahnya sudah berkurang daripada yang sudah-sudah. 

Tapi masalah peredaran obat keras tanpa resep itu sebenarnya tidak hanya menyangkut oknum penyedia barang saja, karena kadang pembeli juga datang ke apotek membawa resep guna membeli obat tersebut tapi ternyata resep tersebut palsu karena mereka sendiri yang menulis item obatnya di lembar resep seorang dokter yang biasanya berprofesi sebagai dokter spesialis Syaraf, Psikiater bahkan dokter umum.

Selain itu oknum seperti dokter, pemilik sarana apotek yang bekerja sama dengan apoteker dalam pendirian sebuah apotek juga bertanggung jawab pada peredaran obat keras tanpa resep ini. Penulis meng]]emukakan asumsi ini karena dalam distribusi obat dari produsen ke konsumen, setiap pihak yang terlibat juga seharusnya ikut berperan serta dalam pengawasan peredarannya. Contohnya sebagai dokter, supaya memperhatikan lembar resep yang diberikan ke pasien, jika perlu mungkin membuat catatan item obat keras apalagi psikotropik dan narkotik yang diberikan ke pasiennya sehingga jika lembar resep tersebut disalahgunakan maka oknum dokter dapat mengetahuinya. 

Sebagai pemilik sarana apotek yang bekerja sama dengan apoteker maka diharapkan ikut melakukan pengawasan dengan cara tidak menjual item obat keras kepada pasien tanpa resep dan tanpa kehadiran apoteker (no pharmacist, no service), tidak membenarkan praktek "apoteker papan nama" dan tidak memaksa oknum apoteker menandatangani Surat Pesanan (purchase order) kosong. 

Sebagai apoteker atau asisten apoteker yang sebagai lini terdepan dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat, diharapkan juga melakukan pengawasan dengan berpraktek sesuai jam praktek, meniadakan praktek Apoteker papan nama, menolak menandatangani surat pesanan obat keras, psikotropik dan narkotik dengan jumlah yang tak sesuai kebutuhan bulanan apotek dan tidak melayani pembelian obat tanpa resep dokter, jika perlu menanyakan kepada oknum dokter penulis resep apakah benar menulis resep dengan item tersebut untuk pasien yang membawa lembar resep itu.

Kasus tertangkapnya oknum apoteker penanggung jawab dan asisten apoteker yang waktu itu bertugas melayani pasien, menurut penulis tidak bisa dikategorikan pelanggaran undang-undang kefarmasian dalam hal distribusi obat keras yang tidak boleh dibeli tanpa resep karena prosedur penangkapannya yang janggal. Dikatakan oknum asisten apoteker melayani pembelian Tramadol tanpa resep, padahal item obat itu menurut peraturan memang sah dimiliki oleh sebuah apotek lalu dikatakan diperjual belikan tanpa resep, apakah benar begitu? 

Ada beberapa kabar yang mengatkan waktu penangkapan itu ada 2 oknum yang menanyakan punya obat Tramadol kah? Tentu sebagai apotek yang berijin pasti punya, tapi jika tidak ada transaksi jual beli dan hanya ditunjukkan barangnya ke oknum tersebut apakah sudah dapat dikategorikan dijual tanpa resep? 

Agaknya terlalu mengada-ada alasan penangkapannya dan simpang siur berita yang beredar malah mengatakan keduanya terlibat dalam peredaran obat PCC yang menghebohkan media massa padahal kasus PCC dan Tramadol tak saling berkaitan namun berusaha di framing media seakan-akan saling berhubungan karena terjadi di kota yang sama, seakan hanya profesi kesehatan tertentu yang bertanggung jawab terhadap timbulnya masalah penyalahgunaan obat. 

Cerita yang sama pernah terjadi beberapa tahun yang lalu pada saat peredaran Vaksin palsu, padahal yang membuat adalah oknum bidan dan suaminya yang tidak berlatar belakang kesehatan namun lagi-lagi profesi kesehatan tertentu yang menjadi "kambing hitamnya." 

Berkaca dari kasus ini maka sesungguhnya yang dapat kita simpulkan adalah sebenarnya semua obat itu diformulasikan dan dikonsumsi dengan tujuan mengobati suatu penyakit dan gejala penyakit, yang menjadikannya "racun" adalah kita sendiri sebagai konsumen yang memakainya dengan takaran yang berlebih dari seharusnya dipersyaratkan/ menyalahgunakan indikasinya bukan untuk mengobati namun untuk tujuan yang tidak seharusnya. 

Oleh karena itu, mulai sekarang bijaklah dalam menggunakan obatmu dan selalu ingat bahwa obat dan racun keduanya adalah substansi yang sama yang membedakannya adalah takaran penggunaannya. Be healthy and Be Happy.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun