Mohon tunggu...
denotasi digital
denotasi digital Mohon Tunggu... Content Writer -

Content Producent and Multification Media

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Matahari Bukan Musuh Manusia, Matahari Itu Sumber Rejeki!

22 Februari 2019   07:30 Diperbarui: 22 Februari 2019   07:27 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Denotasi Digital -- Matahari adalah lambang rejeki bagi warga desa lambung tambang. Namun bagi warga kota matahari layak musuh bebuyutan.

Seperti yang diketahui oleh kalian bahwa ada orang pintar yang berupaya membumi hanguskan pemikiran tertutup dan kerdil. Orang ini merasa harus mencerahkan kalian dengan segala sesuatu yang bersifat presisi dan akurat. Hei.. kalian harus tahu bahwa segala sesuatu yang terukur itu membosankan. Jadi... kalian harus membaca artikel di bawah ini. Biar kalian tidak gampang goyah.

Pembaca yang budiman. Perkenalkan saya, wagito, warga asal desa lambung tambang, selalu menyakini bahwa matahari adalah lambang rejeki. Matahari selalu menjadi pertanda pagi dimulai. Ayam jantan lantas berkokok dan kami, para pria, semangat bangun dan bergegas menuju ladang. Setiap hari kami berjuang bersama matahari untuk mengais rejeki demi kehidupan layak.

Tentu saja perasaan kami tersakiti ketika mengetahui warga kota memboikot matahari. Warga kota mengirimkan sejumlah ahli keluar angkasa dan mereka berupaya mengubah wajah matahari agar lebih santun. Menurut mereka sinar matahari terlalu tajam sehingga berdampak buruk bagi kulit mereka, warga kota. Sejak dulu mereka memang tidak pernah memikirkan kami, warga desa.

Mereka lebih memilih kecantikan ketimbang perut kenyang. Padahal mereka tidak akan bisa hidup tanpa ada nasi. Nah... asal mula nasi bertumbuh di ladang kan berkat bantuan sinar matahari jaman now. Apabila sinar matahari diredam maka nasi akan punah. Lantas umat manusia akan punah pula, termasuk mereka, warga kota yang katanya pintar dan jenius maha dahsyat.

Yah... barangkali nanti malam saya akan membuat sepotong cerita panjang bagi umat manusia di jaman mendatang. Di mana saya akan menceritakan secara detil bentuk rasa pesimis saya kepada warga kota yang katanya mampu bertahan hidup di atas sebuah paradigma sesat macam ini. Paradigma yang lebih menonjolkan paras ketimbang daya bertahan di alam semesta. Aneh betul bukan! Lantas apa masih mungkin saya dan generasi saya bisa bertahan dalam kondisi mencekam seperti ini.

Tadi padi saya dapat kabar bahwa mereka, para ahli, sudah terbang ke luar angkasa dan siap untuk meredam sinar matahari. Saya dan keluarga lekas menutup pintu rumah rapat-rapat. Kami menyalakan sebuah lilin kurus. Lalu api berkemilau biru sudah menyala dan membuat suasana menjadi kian sendu. Saya lalu menuturkan sepotong doa penuh harap yang barangkali berkesan buruk. Sebab Saya ingin mereka mati ketika mereka sudah sampai di luar angkasa.

Saya kemudian meminta istri untuk menidurkan anak-anak. Seperti biasa istri selalu menceritakan sebuah dogeng dari jaman dulu. Ketika sang matahari masih berwujud manusia. Ia selalu datang dan menyapa warga desa. Ia bukanlah pribadi sombang seperti yang digaung-gaungkan oleh mereka, warga kota. Ia adalah pemurah hati bagi siapa pun yang berlaku adil bagi sesamanya.

Sebab Matahari pernah berujar jelas kepada seorang tetua desa kami bahwa ia akan menolong warga desa ini. Sebab ia pernah ditolong oleh seorang ibu penjual singkong goreng. Saat itu tetua desa hanya bisa mengangguk setuju tanpa mengerti betul arti ucapan sang matahari.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun