Pada tahun 2018, saya berkesempatan untuk hadir disebuah seminar tentang keterlibatan perempuan dalam politik, dimana pematerinya adalah seorang anggota Parlemen Inggris yang mewakili wilayah Newcatle Upon Tyne Central yang terletak di bagian utara Inggris. Banyak pelajaran berharga yang dapat saya ambil dari perempuan luar biasa yang bernama Chi Onwurah tersebut, baik dari aspirasi politik yang dimilikinya maupun dari personalnya sendiri. Tentu dari tema materi yang disampaikan dalam seminar tersebut, dapat diterka bahwa beliau adalah seorang feminis, yang sangat mendorong keikutsertaan perempuan dalam dunia politik.
Sebagai seorang profesional yang memiliki latar belakang di dunia teknik yang didominasi oleh laki-laki, Onwurah tentunya sangat paham mengenai disparitas antara keterlibatan laki - laki dan perempuan dalam banyak sektor, tidak terkecuali dalam dunia politik. Menurut Data World Bank (2019), di Inggris sendiri, jumlah perempuan yang duduk di parlemen berada di angka 32 persen. Hal ini berarti bahwa 68 persen kursi parlemen di Inggris didominasi oleh laki - laki. Meskipun demikian, angka 32 persen tersebut terbilang cukup besar jika dibandingkan dengan negara - negara lain di dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan sumber yang sama, jumlah perempuan yang duduk dikursi parlemen Indonesia hanya sekitar 20 persen, yang masih cukup jauh untuk mencukupi kuota yang diberikan bagi perempuan di parlemen yaitunya sebanyak 30 persen.
Onwurah berpendapat bahwa partisipasi perempuan dalam sektor politik sangatlah penting, tak hanya agar perempuan dapat secara langsung ikut serta dalam proses pembuatan kebijakan yang nanti akan berdampak kepada kehidupan mereka, namun, karena keterlibatan mereka juga akan sangat berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat.
Menurut Women Deliver (2019), sebuah organisasi advokasi global yang fokus kepada perberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, keberadaan perempuan di ruang lingkup politik akan sangat berpengaruh kepada hasil kebijakan yang didapat nantinya. Perempuan yang berada di dalam sistem pemerintahan akan cenderung untuk menyelesaikan krisis nasional tanpa harus melibatkan kekerasan. Hal ini sejalan dengan pendapat Inter-Parliamentary Union (2009), yang melalui publikasinya menyatakan bahwa terdapat perubahan bahasa dan kebiasaan parlemen yang menjadi tidak terlalu agresif dikarenakan peningkatan jumlah perempuan.
Mengutip pendapat Devlin dan Elgie (2008) dalam 'The effect of Increased women representation in parliament: The case of Rwanda', tidak dapat ditampik bahwa peningkatan jumlah perempuan di dalam parlemen, telah meningkatkan 'kepedulian' parlemen terhadap kebijakan sosial, keluarga, pendidikan, kesehatan dan kesetaraan gender.
Menurut saya pribadi, isu - isu tersebut merupakan hal yang paling mendasar dari pengadaan sebuah negara. Karena notabenenya, negara sendiri dibentuk untuk mengatur agar terpenuhinya kebutuhan dan tercapainya kesejahteraan masyarakatnya. Maka dari itu, ketika peningkatan jumlah perempuan di dalam parlemen mampu mengembalikan tujuan awal dibentuknya sebuah negara, sudah seharusnya kita mendukung peningkatan jumlah perempuan di dalam parlemen.
Selain itu, dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, itu mengartikan bahwa telah terjadi penguatan demokrasi dalam suatu bangsa. Bukankah penguatan demokrasi merupakan cita - cita bapak bangsa kita?, sesuai kepada apa yang dituangkan di dalam Pancasila. Ah, masih banyak 'PR' yang harus kita kerjakan sebagai bangsa Indonesia untuk mencapai cita - cita itu. Harus diakui bahwa tak hanya di Indonesia, di dunia secara keseluruhan telah terjadi banyak kesenjangan antara laki - laki dan perempuan.Â
Sudah banyak kasus yang menyebabkan kaum perempuan menjadi korban akibat kesenjangan - kesenjangan tersebut. Dan sudah tak diragukan lagi bahwa puncak masalah utama yang menyebabkan hal itu terjadi adalah dominasi laki - laki di dalam sistem. karena memang, dunia yang kita tinggali sekarang merupakan dunia yang 'male-dominated'. Kemudian, kalau sudah begini, bagaimana demokrasi yang kuat bisa dicapai?.
Meskipun begitu, bukan tidak mungkin untuk mengubah sistem yang demikian. Tentu kita bisa merubahnya, selama kita mau berkontribusi untuk mempromosikan dan ikut andil dalam pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Banyak orang yang antipati mendengarkan dua istilah penting tersebut (terutama laki - laki). Menurut Schuler, Lenzi, Badal dan Nazneed (2017) yang melakukan penelitian mengenai perspektif laki - laki mengenai pemberdayaan perempuan, terdapat kelompok laki - laki yang beranggapan bahwasannya pemberdayaan perempuan hanya akan memunculkan dominasi perempuan terhadap laki - laki.
Anggapan itu memunculkan ketakutan bahwa nantinya perempuan akan mengkontrol dan menunjukkan rasa tidak hormat kepada kaum bapak. Anggapan seperti inilah yang harus diluruskan. Tentu bukan begitu tujuan dari pemberdayaan perempuan yang berujung kepada kesetaraan gender tersebut. Bukan untuk mendominasi siapapun, apalagi untuk 'balas dendam'. Menurut DR. Kapur (2019), pemberdayaan bertujuan agar terciptanya kemampuan untuk bekerja sama, bergandeng tangan, seiya sekata, dalam mewujudkan perubahan.
Dalam hal ini, agar laki - laki dan perempuan dapat mencapai tujuan dan mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik, tentu diperlukan women’s empowerment (pemberdayaan perempuan).