"Kopi tak pernah mengeluh dan tak pernah munafik karena pahitnya. karena ia yakin bahwa pecinta akan datang sendirinya seperti takdir Tuhan"
Sore itu langit dihiasi lembayung senja, semakin lama jalan yang dilalui semakin sempit, berliku.dihiasi dengan tanjakan dan turunan curam. Â Meski sudah uzur namun landrover seri 3 lansiran tahun 1973 masih mampu merayapi jalanan dengan aspal terkelupas digantikan oleh bebatuan dan tanah merah.
Mesin 3000 cc sesekali meraung saat menapaki jalan berbatu, lalu kembali konstan dengan getaran mesin stabil. Meski harus terguncang guncang dalam dalam kabin namun perjalanan seperti selalu dirindukan.
Sayap malam mulai mendekap mentari, perlahan sinarnya menyusut lalu menghilang dalam dekapan malam. Meski jarang pandang hanya sejauh lampu sorot diatas kabin, namun kerinduan untuk menghirup udara bersih bebas dari polutan menjadi penyemangat untuk segera mencapai tempat "pelarian" nun jauh di tengah rimbunan pepohonan teh dan tebalnya kabut.
Tepat jam 21.00 akhirnya tiba di tempat "pelarian" itu. Aroma nya masih sama, harmonisasi suara itu masih sangat ku kenal, tidak berubah meski sudah hampir satu tahun tidak ku sambangi. Setelah menurunkan sejumlah peralatan dan membuka tenda sederhana, ini saatnya untuk menikmati kebesaran tuhan. Mencharge kembali jiwa yang sudah hampir kosong di curi oleh katamakan dunia fana.
Cahaya dari api unggun menari nari, menyusup ke sudut sudut kegelapan diantara pohon pinus dan mata mata tajam binatang malam. Hangatnya mulai menyusup kedalam relung hati dan memompa semangat hidup, untuk kembali bertarung dihari yang akan datang.
Air diatas kompor lapangan sudah mulai memanas, tidak hingga mendidih, kira kira sekitar 80 derajat celcius, panas yang pas untuk melarutkan bubuk kopi dalam cangkir dari batok kelapa yang entah sudah berapa kali di pergunakan, warnanyapun sudah memudar tapi mengkilap sama sepeti kepala tuannya yang sudah mulai botak dan memperlihatkan kulit kepala yang mengkilap hahaha.
Perlahan alunan tembang cinta lawas dari bimbo mengalun lirih dari perangkat audio, sambil menunggu bubuk kopi larut, turun ke dasar cangkir, sejumput daun tembakau srintil oleh oleh dari kawan yang seorang perwira angkatan udara saat kunjungan tugas ke wilayah temanggung, menjadi menjadi pasangan pas, sejiwa dalam harmonisasi rasa. Hemm perbaduan bubuk biji kopi dari gunung puntang berpadu dengan gurihnya tembakau srintil yang dihisap melalui cangklong seakan membetot sukma untuk terbang menggapai nirwana nun jauh diatas sana.
Dibawah sinar rembulan, masih ada cerita lama yang tersembunyi dibalik tawa, bukannya tak ingin bercerita, hanya saja tiada yang bisa kupercaya selain ia yang telah tiada, damai dalam pelukan ilahi. Cinta pertama berahir sudah, meski sudah berselang 15 tahun namun kenangan itu kadang masih saja kadang muncul, mencuri perhatian dalam lembar lembar kenangan. Mengorek luka lama yang ingin dipendam dalam relung hati yang paling dalam.
 Seperti kisah Inong, yang akhirnya iklas saat nyawanya direngut kangker darah yang kala itu tidak ada obatnya, menghempaskan cinta dan cita cita yang kala itu sedang menggebu, penuh dengah asa dan harapan. Dalam pelukan, inong menghembuskan nafas terakhirnya, iklas saat kangker darah menjadi jalan untuknya untuk menghadap sang ilahi. Meski sudah berlalu selama 15 tahun namun kadang hembusan nafas terakhirnya seperti masih terasa, wangi aroma tubuhnya seperti masih tercium, dan kebaya pengantinnya yang dikenakannya masih membekas dalam memori.
Seperti kopi gunung puntang yang kuhirup perlahan, aku belajar tentang satu hal terhebat dari kopi yang ternyata mampu menghapus tangis tanpa pelukan, mencipta tawa tanpa gurawan dan menjawab resah tanpa kata.