Mohon tunggu...
denny suryadharma
denny suryadharma Mohon Tunggu... Freelancer - penjelajah rasa, merangkum dalam kata bermakna untuk dikabarkan pada dunia

lahir di bandung, suka dengan dunia kuliner, traveling dan menulis lepas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Tiada Bahagia Jika Tiada Restumu

1 Februari 2017   22:26 Diperbarui: 1 Februari 2017   22:37 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalas, ibu” syair lagu “Ibu” dari musisi balada Iwan Fals di sore itu, mengalun perlahan merayapi relung relung hati. Seakan menggelitik ingatanku akan belasan tahun kebelakang. Saat masih tinggal di sebuah kampung kecil di sebelah barat pulau jawa.

Masih segar dalam ingatanku, dibawah temaram lampu tempel dengan sabar ibu mengajarkan bagaimana mengeja huruf demi huruf hingga akhirnya bisa terbaca menjadi sebuah kata, lalu menjadi sebuah kalimat.

Meski awalnya selalu mangkir dengan segala alasan, ibu senantiasa mewajibkan anak anaknya untuk selalu membaca buku. Tidak habis pikir dikala itu kenapa kami harus membaca, mengapa setiap hadiah ulang tahun kadonya sudah dipastikan sebuah buku. Koleksi buku di rumah mungil kami makin lama makin banyak. Sedari kecil ibu sudah mengenalkan kami dengan sejumah buku seperti roman siti nurbaya, atau tenggelamnya kapal var der wijk dan berpuluh puluh judul buku lainnya dengan berbagai keragaman budaya, kesusastraan, otobiografi hingga cerita rakyat.

Dalam urusan mengajipun, seperti kebiasaan anak anak jaman dahulu, ibu membimbing kami mengeja huruf huruf hijaiyah. Tak kenal lelah ibu ibu mengajari dan mengingatkan untuk membaca. Setiap kali ada kesempatan ibu selalu menanyakan sudah khatam berapa kali dalam sebulan ini nak? Atau sudah berapa buku kau tamatkan bulan ini nak, dan jika aku beralasan tidak membaca buku atau mengaji, maka seribu nasihat segera meluncur terucap dari mulut ibu. Tak kuasa rasanya untuk menatap ibu, maka akupun hanya bisa tertunduk diam seribu basa.

ibu selalu mengingatkan, buku adalah jendela ilmu, membuka cakralawa dunia. Meski saat ini kita tinggal di sini, namun suatu saat kamu akan melihat dunia. Dengan ilmu maka dunia akan melayanimu, bukan kamu yang akan melayani dunia. Dengan ilmu maka kau tidak akan susah hidup di dunia. Orang akan menghargaimu, bukan karena pangkat dan jabatan, bukan pula karena harta. Jika berilmu, maka orang akang mengenang setiap perkataanmu, mengingat setiap goresan tinta, abadi meski kamu sudah tidak ada di dunia.

Dengan usiaku pada saat itu, aku tidak faham akan apa yang ibu katakan. Namun seiring dengan bertambah usia, saat mulai memasuki jenjang sekolah. Aku mulai merasakan manfaat dari kebiasaan membaca yang ibu tanamkan sejak kecil.

Bagi anak usia belasan tahun, mungkin baru pertama kali membaca roman siti nurbaya, dengan datuk maringgihnya. atau tidak mengenal zainudin dan hayati dalam roman tenggelamnya kapal van der wijk. Tapi aku sudah mengenal mereka sejak usia sekolah dasar. Begitupun saat meranjak puber dan mengenal kisah kasih di sekolah, aku sudah akrab dengan puisi puisi romantis.

Sejak dahulu, mendapat tugas menulis karangan bebas atau bercerita di depan kelas, aku pasti sangat senang sekali.  Tanpa kesulitan berarti aku bisa mendeskripsikan dengan runut peristiwa sejarah yang terjadi pada saat peristiwa Bandung lautan api, long march pasukan siliwangi, perang puputan, perang padri ataupun pembebasan irian barat dan lain lainnya.

Imajinasiku menjadi membuncah, melompat lompat saat merangkai kata menjadi sebuah kalimat dengan berjuta makna. Aku ingin menghanyutkan nalar siapa saja yang membaca tulisank, menembus dimensi, dengan kata kata.

Saat beranjak dewasa, aku senang menggombali  teman teman perempuanku, tentunya dengan kalimat kalimat puitis. Mengutip kalimat para pujangga besar, membongkar pasang syair dan lirik. Meski kadang di anggap sinting, karena sering kali berdiam diri hingga berjam jam di bawah pohon rindang, di tepi hutan, diatas batu atau tertawa terbahak bahak saat membaca buku yang lucu, ataupun berlinang air mata saat membaca roman drama sedih.

namun sering kali dimintai tolong untuk membuat surat cinta. Karena kala itu, menulis surat menjadi kebutuhan tersendiri bagi remaja remaja yang sedang mabuk kepayang dilanda asmara. Berlembar lembar kertas warna warni bahkan di bubuhi wewangianpun seaakan menjadi trend di kalangan muda mudi yang baru dilanda cinta monyet.

Imbalannyapun beragam dari sekedar traktir semangkok bakso, dibuatkan pekerjaan rumah , hingga lembaran lembaran rupiah memenuhi pundi pundiku. Uang kiriman dari orang tua pun untuk hidup di kota sedikit demi sedikit mulai aku tabung. Selain untuk menambah koleksi buku akupun berniat untuk membelikan kado untuk kedua orang tua di kampung halaman. Sebuah kaca mata baca untuk ibu dan tape keluaran terbaru untuk ayah, tak tak perlu lagi berpayah payah memutar piringan hitam lagu lagu bimbo, koes plus, atau said effendi.

Memasuki dunia kampus, aku mulai memberanikan diri untuk menyampaikan gagasan, ide ataupun opini ke sejumlah surat kabar. Entah sudah berapa belas kali aku mengirimkan, tapi selalu gagal. Ketika harapan hampir padam, ibu selalu memberi semangat. Niatkan menulis untuk berdakwah. Mungkin hari ini belum, siapa tahu besok atau lusa.

Dan akhirnya, ucapan ibu memang terbukti. Dengan kesabaran, pantang menyerah akhirnya aku bisa menyampaikan dakwah lewat tulisan. Setelah itu, semua berjalan seperti mengalir. Hingga mendapatkan jodohpun melalui tulisan. Saat melamar calon istriku, dengan bangga aku mengatakan berprofesi sebagai penulis, padahal waktu itu aku belum memiliki pekerjaan tetap. Saat menikah pun, berjudul judul buku aku jadikan sebagai mas kawinnya. Saat ditanya alasannya dengan mantap aku mengatakan, dengan membaca buku aku bisa seperti sekarang ini. dan berkat jasa seorang ibu yang mengajarkan, menanamkan sedari kecil untuk selalu membaca maka aku bisa seperti sekarang ini. maka dengan ini aku pinang engkau dengan buku.

Ibu, keberhasilanku saat ini tidak lepas dari pondasi kokoh yang telah ibu bangun yaitu membaca.

ingin ku dekap dan menangis di pangkuan mu, sampai ku terlelap bagai masa kecil dulu. Lalu doa doa baluri sekujur tubuhku, dengan apa membalas. Ibu”  Sekilas namun mampu menghadirkan bayangan ibu dengan segala kelembutannya. Senyum ramahnya selalu mengembang diantara keriput kulit wajahnya. Kehangatan usapan tangan di atas kepala setiap kali anak anaknya di saat datang dengan segudang gundah gulana, seperti oase di tengah gurun.

Terima kasih ibu, entah harus dengan apa aku membalas jasamu, maka tidaklah berlebihan jika said effendi seorang pujangga, mengatakan dalam syair lagunya “duhai apakah gerangan budi balasan, bagi insan melahirkan membesarkan, tiada bahagia jika tiada doa restu, surga itu di telapak kaki ibu”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun