Sebagaimana ditulis oleh  Charles R. Cross dalam Room Full of Mirrors, "Hendrix memanfaatkan gitarnya sebagai senjata, membentuk suara yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata, memberikan pandangan yang jelas tentang ketidakadilan sosial melalui distorsi dan teriakan gitar."
Diskriminasi Rasial dan Perjuangan Sosial Hendrix
Sebagai seorang musisi kulit hitam yang berkarier di dunia rock yang didominasi oleh kulit putih, Hendrix sering kali menghadapi diskriminasi, baik di dunia musik maupun dalam kehidupan sosialnya. Dalam Jimi Hendrix: A Brother's Story, adiknya, Â Leon Hendrix, menulis, "Jimi hanya ingin dihargai karena kemampuannya. Tapi warna kulitnya sering kali membuatnya harus berjuang lebih keras untuk tempatnya."
Di era itu, dunia musik rock tidak hanya bersinggungan dengan ketegangan politik, tetapi juga dengan konflik rasial yang mendalam di Amerika. Gerakan hak sipil yang berkembang pesat menginspirasi banyak orang, namun Hendrix memilih untuk mengungkapkan pandangannya melalui musik, bukan politik langsung. Melalui lagu seperti  Machine Gun, yang terdapat dalam album Band of Gypsys, dia mengekspresikan keprihatinannya tentang perang dan kekerasan, memberi suara kepada mereka yang terpinggirkan oleh masyarakat.
Dalam Electric Gypsy, Â Harry Shapiro dan Caesar Glebbeek menyatakan, "Musik Hendrix bukan hanya untuk hiburan, tetapi sebuah bentuk protes terhadap kekerasan yang menghancurkan kehidupan banyak orang kulit hitam di Amerika."
Musik Hendrix bisa dijelaskan dengan pendekatan postkolonial sebagaimana Gayatri Spivak dalam esainya Can the Subaltern Speak?, yang mengkritik bagaimana kelompok marginal sering kali tidak diberi ruang untuk berbicara dalam sistem yang didominasi oleh kekuasaan kolonial. Dalam konteks Hendrix, industri musik sering kali merepresentasikannya sebagai "dewa gitar liar" yang eksotik, sebuah stereotip yang mengeksploitasi identitasnya sebagai pria kulit hitam tanpa benar-benar mengakui dimensi politik dan budaya dari karyanya.
 "In the context of colonial production, the subaltern has no history and cannot speak." --- Gayatri Spivak, Can the Subaltern Speak?.
Namun, melalui musiknya, Hendrix berbicara untuk dirinya sendiri dan komunitasnya. Lagu seperti Machine Gun adalah pernyataan politik yang menentang kekerasan dan perang, sementara improvisasi gitar Hendrix menjadi bentuk perlawanan terhadap norma-norma musik yang kaku.
Pengaruh yang Tak Terhitung pada Musisi Berikutnya
Warisan Hendrix sebagai pionir dalam improvisasi gitar dan penggunaan efek suara terus hidup dalam karya musisi-generasi berikutnya. Dari  Carlos Santana hingga  Kirk Hammett (Metallica), pengaruh Hendrix sangat terasa. Dalam  Jimi Hendrix: The Stories Behind the Songs,  David Stubbs mencatat, "Hendrix memberikan kebebasan untuk bereksperimen---memanfaatkan gitar sebagai lebih dari sekedar alat musik, melainkan sebagai medium ekspresi diri yang tanpa batas."
Musisi shredder seperti  Yngwie Malmsteen, yang dikenal dengan teknik gitar klasiknya yang rumit, mengakui bahwa meskipun ia terinspirasi oleh musik klasik, namun Hendrix-lah yang mengajarkannya untuk mengeksplorasi lebih jauh dalam hal improvisasi dan eksperimen suara. "Dia membuka jalan bagi semua gitaris untuk mencari suara mereka sendiri," kata Malmsteen dalam sebuah wawancara yang dikutip oleh Stubbs.