Namun, hukum tidak selalu hitam-putih. Di sinilah  Tuchtrecht hadir sebagai alasan pembenaran di luar undang-undang, dengan syarat tindakan tersebut dilakukan dalam batasan-batasan tertentu dan dengan tujuan yang mendidik.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 40, memberikan jaminan bahwa para pendidik berhak atas perlindungan dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Hak ini mempertegas posisi guru sebagai otoritas moral yang diakui oleh sistem pendidikan nasional, dengan ruang untuk memberi disiplin.
Namun, perubahan regulasi seperti yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, semakin memperketat batasan terhadap tindakan-tindakan disiplin fisik. Pasal 54 undang-undang ini menyatakan dengan tegas bahwa setiap anak di sekolah harus dilindungi dari kekerasan fisik maupun psikis. Ini adalah perkembangan yang membawa tantangan baru bagi guru-guru seperti Supriyani.
Solidaritas dan Tanggung Jawab Profesi
Ketika Supriyani ditahan, banyak pihak terhenyak. PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) segera turun tangan. Mereka menyadari bahwa ini bukan hanya kasus seorang guru, tetapi simbol dari ketidakpastian norma yang kini mengancam para pendidik di seluruh negeri. Melalui Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum, PGRI mendampingi Supriyani, berusaha mengadvokasi haknya dan memastikan proses hukum yang berjalan adil. Di balik jeruji penjara, Supriyani adalah representasi dari kegelisahan para guru yang kini hidup dalam ketakutan akan kriminalisasi.
Namun, solidaritas itu bukanlah semata-mata upaya pembelaan tanpa dasar. Ia adalah panggilan moral untuk menegakkan hak-hak seorang pendidik yang telah lama diakui oleh hukum. Di sinilah perlunya keseimbangan antara perlindungan anak dan perlindungan bagi profesi guru. Karena bagaimanapun juga, tanpa guru yang mampu mendidik dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri, pendidikan tidak akan pernah bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Refleksi dari Putusan-Putusan Mahkamah Agung
Dalam studi-studi hukum sebelumnya, kita melihat bahwa putusan-putusan Mahkamah Agung seringkali memberi pengakuan terhadap hak mendisiplinkan selama dilakukan dalam batas kewajaran.
Misalnya, dalam  Putusan Nomor 2024 K/Pid.Sus/2009, di mana seorang guru menampar pipi murid dengan tangan kiri. Tindakan ini dianggap sebagai upaya mendisiplinkan yang sah, karena dilakukan dengan tujuan mendidik dan tidak menimbulkan cedera serius.
Putusan lainnya, Â Nomor 1045 K/Pid.Sus/2010, juga menegaskan bahwa tindakan mendisiplinkan seperti menyuruh murid berdiri di depan kelas bukanlah penganiayaan, melainkan bagian dari proses pendidikan selama tidak dilakukan secara berlebihan. Ini adalah pengakuan bahwa pendidikan membutuhkan ruang untuk menerapkan disiplin, tetapi dengan prinsip kehati-hatian.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 240 K/Pid.Sus/2016 juga sudah  menjadi yurisprudensi dimana Putusan ini menyangkut seorang guru yang mencubit muridnya karena ketidaktertiban dalam kelas. Tindakan mencubit dianggap sebagai bagian dari hak mendisiplinkan yang dimiliki oleh seorang guru dalam menjalankan kewenangannya untuk menjaga ketertiban dan kedisiplinan murid di lingkungan sekolah. Hakim menilai bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka edukatif dan bukan sebagai kekerasan.Â