"Lebai!!"
Begitu komentar yang terlontar dari beberapa orang yang saya tanyakan pendapatnya tentang blur atlet renang dalam tayangan sebuah televisi berita beberapa waktu lalu.
Yang lebai siapa? Stasiun TV atau KPI sebagai pembuat regulasi?
Jawaban mereka, yang lebai adalah stasiun tv yang bersangkutan.
Mengapa?
Dalam perjalanan tayangan televisi di Indonesia, semua juga paham jika tayangan olah raga, khususnya renang tidak pernah disensor atau diblur.
Dalam P3SPS atau Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah jelas dijelaskan materi tayangan apa saja dan yang bagaimana yang bisa disebut melanggar etika penyiaran. Dalam aturan P3SPS itu memang disebutkan tidak boleh menampilkan paha, belahan dada, bokong dan bagian-bagian tubuh lain. Namun, secara tidak tertulis, awak media juga paham bahwa itu tidak berlaku untuk olah raga renang.
Dalam kasus di stasiun TV Berita Indonesia bermerk internasional tersebut, kemungkinan pembuat paket beritanya tidak paham atau tidak pernah mengetahui tentang P3SPS tersebut. Ironis sekali jika seorang wartawan televisi atau produser TV tidak memahami apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dalam sebuah tayangan televisi.
Sejak ditayangkan pada Sabtu (17 September 2016) lalu, kecaman dari netizen bermunculan. Umumnya mengkritik KPI karena awalnya dianggap sebagai pihak yang meminta adanya sensor dari pihak tv. Namun belakangan diketahui bahwa peristiwa blur atlet renang itu ternyata adalah swa-sensor alias sensor yang dilakukan sendiri oleh pengelola televisi yang bersangkutan.
Swa-sensor terjadi setelah adanya penafsiran terhadap aturan yang ada. Di zaman orde baru, media umumnya menghindari masalah sehingga melakukan swa-sensor untuk menghindari breidel atau penghentian terbit.
Swa-sensor yang terjadi pada stasiun tv berlabel asing itu menjadi anomali dari banyak kasus pelanggaran etika yang terjadi di Indonesia. Umumnya media ditegur atau ramai dibicarakan justru pada saat melakukan pelanggaran etika penyiaran. Kali ini, stasiun tv bersangkutan ramai dibicarakan karena melakukan sensor berlebihan alias lebai.
Dikutip dari BBC Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan tayangan yang harus disensor adalah yang mengeksploitasi pornografi seperti memperbesar visual di bagian tubuh tertentu dan menayangkannya dalam waktu yang cukup lama. Ketua KPI Yuliandre Darwis mengatakan mereka tidak pernah melarang kegiatan renang ditayangkan di televisi dan pengaburan gambar tersebut dilakukan atas inistiatif stasiun televisi yang mengaburkan atlet renang itu, CNN Indoneia. CNN Indonesia mengatakan ada interpretasi yang luas terutama terkait larangan eksploitasi tubuh perempuan dalam siaran televisi seperti yang diatur oleh KPI. Ya, ada interpretasi yang berbeda.
Swa-sensor yang dilakukan stasiun tv, diduga terkait dengan banyaknya teguran dari KPI untuk stasiun tv terkait dengan tayangan-tayangan yang menampilkan belahan dada atau anggota tubuh lainnya. Teguran ini menimbulkan ketakutan sehingga menyensor sendiri tanpa diminta.
Persoalan etika penyiaran tidak lepas dari pantas dan tidak pantas, boleh dan tidak boleh. Teguran-teguran dari KPI pula yang mungkin menyebabkan adanya sebuah stasiun tv yang mencantumkan tulisan 18+ di layar pada sebuah acara berita yang tayang malam hari. Mengapa pula ada acara berita dengan embel-embel 18+? Simbol 18+ di sana, sama artinya dengan film dewasa. Alamak. Jika diartikan secara terbalik, bisa disebut pula bahwa ada TV di Indonesia yang menayangkan program untuk 18 tahun ke atas. Nah lho.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H