Mohon tunggu...
Denny S. Batubara
Denny S. Batubara Mohon Tunggu... Penulis - Orang Biasa

Menulislah dengan laptop, jangan dengan hati karena hati gak bisa dipakai menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Swa-sensor Bikini nan Lebai

20 September 2016   19:30 Diperbarui: 21 September 2016   12:26 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lebai!!"

Begitu komentar yang terlontar dari beberapa orang yang saya tanyakan pendapatnya tentang blur atlet renang dalam tayangan sebuah televisi berita beberapa waktu lalu.

Yang lebai siapa? Stasiun TV atau KPI sebagai pembuat regulasi?

Jawaban mereka, yang lebai adalah stasiun tv yang bersangkutan.

Mengapa?

Dalam perjalanan tayangan televisi di Indonesia, semua juga paham jika tayangan olah raga, khususnya renang tidak pernah disensor atau diblur.

Dalam P3SPS atau Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sudah jelas dijelaskan materi tayangan apa saja dan yang bagaimana yang bisa disebut melanggar etika penyiaran. Dalam aturan P3SPS itu memang disebutkan tidak boleh menampilkan paha, belahan dada, bokong dan bagian-bagian tubuh lain. Namun, secara tidak tertulis, awak media juga paham bahwa itu tidak berlaku untuk olah raga renang.

Dalam kasus di stasiun TV Berita Indonesia bermerk internasional tersebut, kemungkinan pembuat paket beritanya tidak paham atau tidak pernah mengetahui tentang P3SPS tersebut. Ironis sekali jika seorang wartawan televisi atau produser TV tidak memahami apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dalam sebuah tayangan televisi.

Sejak ditayangkan pada Sabtu (17 September 2016) lalu, kecaman dari netizen bermunculan. Umumnya mengkritik KPI karena awalnya dianggap sebagai pihak yang meminta adanya sensor dari pihak tv. Namun belakangan diketahui bahwa peristiwa blur atlet renang itu ternyata adalah swa-sensor alias sensor yang dilakukan sendiri oleh pengelola televisi yang bersangkutan.

Swa-sensor terjadi setelah adanya penafsiran terhadap aturan yang ada. Di zaman orde baru, media umumnya menghindari masalah sehingga melakukan swa-sensor untuk menghindari breidel atau penghentian terbit.

Swa-sensor yang terjadi pada stasiun tv berlabel asing itu menjadi anomali dari banyak kasus pelanggaran etika yang terjadi di Indonesia. Umumnya media ditegur atau ramai dibicarakan justru pada saat melakukan pelanggaran etika penyiaran. Kali ini, stasiun tv bersangkutan ramai dibicarakan karena melakukan sensor berlebihan alias lebai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun