Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tiba-tiba menjadi sorotan utama di semua media. Seolah-olah posisi Gubernur Jakarta adalah posisi penting yang paling utama di negeri ini. Kondisi seperti ini tidak terjadi ketika akan pemilihan gubernur di provinsi lain. Apakah ini karena daya tarik Jakarta sebagai ibu kota negara? Ada yang berpendapat ini karena Jakarta adalah miniatur Indonesia? Tidak sepenuhnya benar. Posisi Gubernur Jakarta menjadi menarik hanya karena semua media berpusat di Jakarta. Media nasional selalu menjadikan semua berita Jakartasentris, selalu dipandang dari sudut pandang Jakarta.
Ketika Joko Widodo datang ke Jakarta untuk bertarung di pilkada, semua media mengelu-elukan sikapnya ketika ia datang ke pasar-pasar dan berbicara dengan warga. Seplah-olah itu adalah sesuatu yang baru. Padahal, pola seperti itu sudah lama dilakukan para gubernur di daerah lain. Namun tidak terekspos karena tidak ada media yang tertarik memberitakannya.
Kembali ke persaingan pilkada Jakarta saat ini, dalam sebuah program Talk Show di Televisi, Anton Medan sampai harus memutuskan meninggalkan kursinya karena menganggap dialog sudah tidak "sehat". Wajar saja, semua nara sumber di dialog itu adalah para penantang Ahok yang satu per satu menguliti Ahok. Pertanyaan host juga mengarah pada hal itu. "Apa menurut Anda yang masih kurang dari Ahok?" Sebuah pertanyaan aman yang bisa dijawab dengan apa saja. Wajar jika Anton Medan yang datang ke acara itu sebagai "Teman Ahok" merasa gerah dan angkat kaki.
Di saat bersamaan, di tv kompetitor tv yang tadi, Ahok sedang ditampilkan dalam sebuah wawancara. Ahok menjawab pertanyaan mengapa ia memilih jalur independen, padahal PDI-P sudah bersedia mendukung. Jawaban Ahok, ia tidak mau didikte partai. Ia mau bersama-sama dengan para pendukungnya yang tergabung di "Teman Ahok".
Terasa aneh saja ketika para penantang Ahok mempermasalahkan pilihan Ahok itu. Seharusnya para penantang itu bersyukur karena Ahok tidak memanfaatkan kemudahannya mencalonkan diri bersama partai politik. Para penantang seharusnya melihat ini sebagai peluang mendapatkan kursi calon karena posisi yang seharusnya ditempati Ahok sudah pasti tidak diambil.
Sebagian besar penantang Ahok mempermasalahkan cara komunikasi dan ketegasan Ahok. Ratna Sarumpaet bahkan berani mengatakan Ahok 99 % bersalah dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Menurutnya, seharusnya pendukung Ahok dan Nasdem tidak terburu-buru mencalonkan Ahok. Ini juga sedikit aneh. Perwakilan Nasdem di program acara itu menjelaskan bahwa kasus RS Sumber Waras masih dalam proses dan harus diserahkan pada petugas hukum.
Proses penggusuran warga yang dinilai sewenang-wenang juga menjadi poin penting bagi para penantang Ahok. Ahok dinilai arogan dan tidak peduli dengan nasib warga korban penggusuran. Penggusuran dengan mengerahkan aparat TNI dan Polri menurut mereka adalah hal mudah. Lalu, jika mudah, mengapa selama ini proses penggusuran seolah sulit dilakukan?
Pilihan Ahok maju ke Pilkada DKI Jakarta melalui jalur independen adalah sebuah keputusan besar. Selain harus mengumpulkan KTP warga, Ahok juga dihadapkan pada masalah hubungan dengan DPRD DKI jika ia terpilih nanti. Bagaimana pun peran partai politik masih sangat besar dalam roda pemerintahan. Namun, keputusan Ahok patut diapresiasi terutama pada keberaniannya membuat pilihan.
Abraham Lunggana alias Haji Lulung dalam program Talk Show di TV tadi mengatakan, jika Ahok nekat maju juga, ia pastikan Ahok akan kalah. Sebuah pernyataan yang harus dicatat dan direview kembali nanti setelah pilkada selesai.
Rakyat Jakarta memiliki karakteristik berbeda dengan warga di tempat lain. Seperti kata Haji Lulung, Ahok tidak pernah dipilih sebagai Gubernur DKI namun ia diangkat karena Gubernur sebelumnya, Joko Widodo, menjadi Presiden RI. Haji Lulung ingin mengingatkan bahwa belum tentu warga Jakarta mendukung Ahok jika maju lagi.
Namun, Ahok patut bersyukur pada kenyataan media masih memihaknya. Seluruh media nasional bisa dikatakan berpusat di Jakarta. Proporsi berita Jakarta sangat besar, seolah-olah berita Jakarta ini dibutuhkan seluruh rakyat Indonesia yang menonton TV dan membaca koran. Lihat saja, semua program TV memiliki segmen khusus untuk berita-berita ibu kota Jakarta. Tak heran jika berita tentang sebatang pohon tumbang saja harus disampaikan di TV. Lihat juga koran yang semuanya menyediakan halaman khusus berita "Metropolitan". Porsi yang sangat besar untuk pencitraan seorang Ahok.
Dalam program di TV tadi, Ratna Sarumpaet mempertanyakan Judul di sebuah media cetak yang menyebut penggusuran Kalijodo berlangsung tertib. Menurut Ratna, media melakukan framing yang seolah-olah semua yang dilakukan Ahok adalah sebuah kebenaran.
Ahok memang menjadi "Media Darling". Apa pun yang dikatakan dan dilakukan Ahok adalah berita. Lihat saat Ahok menemukan gulungan bekas kabel dan menyatakan ada dugaan sabotase agar membuat Jakarta banjir. Media dengan sekonyong-konyong melahap pernyataan itu dengan memberitakan adanya sabotase banjir. Beberapa hari kemudian, setelah beberapa pihak menyatakan tidak ada unsur sabotase dalam kasus itu, media pelan-pelan menjadikan berita itu sebagai kasus biasa.
Namun tidak ada klarifikasi lagi soal pernyataan Ahok sebelumnya tentang sabotase banjir. Media seakan tidak peduli pada benar atau tidaknya ucapan Ahok. Media hanya membutuhkan sisi kontroversi dari pernyataan seorang Ahok. Beberapa pernyataan Ahok bahkan diframing agar menjadi kontroversi. Media tidak bisa disalahkan karena memang begitulah media bekerja. Hanya saja, media juga diharapkan netral dan proporsional dalam pemberitaan tentang Ahok memimpin Jakarta.
Warga Jakarta sebenarnya bisa dikatakan tidak terlalu peduli siapa yang akan memimpin Jakarta. Ahok atau bukan adalah nomor sekian. Bagi warga Jakarta, masalah macet dan banjir serta kenyamanan adalah hal yang didambakan. Bahkan saat pemimpin Jakarta tidak mampu memberikan kenyamanan pun, rakyat Jakarta cenderung tidak peduli.Â
Mereka sudah terbiasa dibuat untuk selalu waspada dan bisa menerima kenyataan jika terjadi macet dan banjir. Namun saat macet dan banjir bisa sedikit terurai, dengan sportif pula warga Jakarta akan memberikan apresiasi. Maka tidak heran jika ada beberapa pihak yang dulu tidak mendukung Ahok, kini berbalik karena menganggap beberapa kebijakan Ahok sesuai dengan keinginannya.
Popularitas Ahok saat ini tidak terkejar di survei-survei. Para penantang akan lebih serius mencari jurus untuk melumpuhkan Ahok. Prof Tjipta Lesmana bahkan berani menyatakan bahwa Yusril Ihza Mahendra akan mencari kasus hukum yang melibatkan Ahok nantinya. Politik memang tidak bisa diramalkan. Yang disayangkan hanya satu, mengapa para penantang ini tidak bersatu saja? Karena percuma melawan Ahok dengan ramai-ramai. Hanya akan memecah suara dalam pilkada.
Â
Denny S. Batubara, M.Ikom
Lulusan S2 Komunikasi Politik dan Media
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H