Mohon tunggu...
Denny S. Batubara
Denny S. Batubara Mohon Tunggu... Penulis - Orang Biasa

Menulislah dengan laptop, jangan dengan hati karena hati gak bisa dipakai menulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tengah Malam yang Sama pada 39 Tahun Lalu

27 Januari 2014   00:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi malam saya menerima sms dari Umak (ibu). Ia mengingatkan bahwa 39 tahun yang lalu, persis pada hari minggu juga, saya dilahirkan ke dunia. Masih di sms, menurut Umak, saya dilahirkan persis bulan purnama atau hari bulan ke-14. Tali pusar saya pun melilit sampai ke leher. Menurut tetua di kampung, lahir di bulan purnama artinya pemberani. Ari-ari saya pun dihanyutkan di sungai, bukan ditanam. Orangtua saya ingin agar saya menjadi orang yang jauh perjalanannya. Itu pula mungkin yang membuat saat ini saya satu-satunya cucu yang paling jauh dari kampung halaman.

Dalam sms itu Umak melanjutkan bahwa saya dan adik-adik saya besar dalam penderitaan. Maksud Umak, kami bukan berasal dari keluarga berada dan sejak masa kecil sudah terbiasa hidup menderita. Saat teman-teman lain punya sepeda, saya tidak pernah memilikinya karena orangtua saya tak bisa membelinya, maklum, Umak saya hanya guru SD, sementara ayah adalah pegawai rendahan di kantor kandep yang menjadi PNS dengan ijazah SD karena ijazah SLTP dan SLTA-nya hilang ketika merantau. Suatu hari saya mencoba-coba naik sepeda punya teman dan ternyata saya bisa mengayuhnya. Senangnya bukan kepalang. Teman-teman saat itu mengira selama ini saya pura-pura tidak bisa naik sepeda.

Syukurlah Tuhan memberi saya otak pintar. Sejak SD saya selalu juara kelas. Saya sering mendapatkan hadiah juara cerdas cermat, sayangnya waktu itu belum ada olimpiade sains seperti sekarang. Bahkan saat masih di kelas 5 SD saya sudah diikutkan lomba cerdas cermat P4 meski pun sebenarnya pesertanya haruslah sudah kelas 6. Guru saya waktu itu, meyakinkan panitia bahwa saya bisa. Dan benar saja, saya meraih juara 1. Umak yang guru SD sering berpindah tugas. Itu yang membuat saya bisa mengerti banyak budaya dan kebiasaan. Hingga usia 5 tahun, kami tinggal di sebuah daerah transmigrasi. Saat itu saya bisa berbahasa Jawa. Tontonan kami adalah Kuda Lumping dan Wayang Kulit. Sebelum masuk SD, Umak dipindahkan ke kota kecamatan yang berada di tepi pantai, Air Bangis. Di sana saya mengerti kehidupan nelayan dan budaya suku Melayu. Lalu saat sudah kelas 5 SD, Umak diangkat jadi Kepala Sekolah di sebuah desa lain. Di sana saya belajar bagaimana mencari ikan di sungai, bagaimana menjerat burung dan mencari kayu untuk pagar sekolah di hutan. Saat SMP saya sudah berpisah dari orangtua. Jarak desa tempat orangtua saya tugas dengan SMP di ibukota kecamatan tidak mungkin saya bolak-balik tiap hari. Saya menetap di kota kecamatan, tinggal bersama kakek dan nenek dan sekali seminggu baru pulang ke rumah kami. Saat SMP ini adik saya yang paling kecil, Desi, meninggal dunia karena sakit. Waktu itu Desi sudah kelas 2 SD. Jarak kampung kami yg jauh dari pusat kota membuat perawatan terhadap Desi tidak maksimal. Orangtua saya membawa Desi ke kampung kakek saat kondisinya sudah kritis. Saya dijemput ke sekolah untuk melihat Desi yg sakit karena dia selalu menanyakan “mana Abang?”. Saat itu dia masih sempat sadar dan menyapa saya.  Karena kondisinya mulai baikan, saya sempatkan sebentar ke rumah sepupu untuk mengambil sandal saya yang tertinggal di sana. Saat pulang, orang-orang sudah mengabarkan bahwa adik saya sudah meninggal dunia. Tamat SMP saya kembali beruntung menjadi siswa dengan NEM tertinggi. Saya diterima di SMA Negeri 1 Padang dari kriteria luar rayon luar kota. Hanya sekitar 15 siswa yang diterima lewat jalur ini. Saat berpamitan dengan famili-famili di kampung, masih ada suara-suara sumbang, mempertanyakan pilihan orangtua saya menyekolahkan ke sekolah favorit di kota Padang itu. Maklumlah, mereka tahu bagaimana kondisi orangtua saya. Sekolah di Padang berpisah dengan orangtua membuat saya mandiri. Menjelang hari pertama sekolah di Padang, kami sekeluarga berangkat. Saya, papa, umak dan adik saya Dedi. Masih saya ingat bagaimana umak menangis di terminal saat akan meninggalkan saya seorang diri di Padang. Selama 3 tahun saya di Padang dengan kondisi seadanya. Ibu tiap bulan mengirimkan beras dan sayur agar saya bisa berhemat. Uang saku saya pas-pasan. Saat hari pertama sekolah, saya ditegur oleh senior karena saya tidak menggunakan ikat pinggang. Pernah suatu waktu, teman tidak mau meminjamkan bukunya pada saya karena saya tidak punya tas. Menurutnya, bukunya bisa rusak jika saya pinjam. Saat ospek, kami disuruh membawa coklat Silverquin ke sekolah. Uang saya tidak cukup. Akhirnya saya beli coklat merk TOP dengan hati berdebar-debar agar tidak dimarahi para senior. Selama bersekolah di SMA 1 Padang, bisa dibilang saya tidak pernah main ke kantin. Bukan karena tidak mau bergabung dengan teman-teman, namun karena saya tidak punya uang jajan untuk sekadar membeli mie. Saya lebih suka menghabiskan jam istirahat di perpustakaan. Buku-buku sastra menjadi pilihan saya untuk dibaca. Saat sekolah di SMA, saya baru bisa mengganti sepatu dengan yang lebih layak, ketika Telkom Padang membuat sayembara menulis cerita pendek untuk dijadikan cerita pendek yang bisa didengarkan lewat telepon. Saya kirimkan 3 cerpen dan semuanya masuk nominasi. Satu cerpen honornya 10 ribu. Uang Rp 30 ribu langsung saya belikan sepatu idaman saya waktu itu, merknya Tiger Fox. Selama di SMA saya ikut beberapa kegiatan. Selain untuk mengisi waktu, saya juga sekaligus mengasah kemampuan saya dalam menulis. Ekskul Grafika dan Jurnalistik menjadi pilihan saya, karena di sini tidak memerlukan banyak biaya. Sebelumnya saya sempat ikut penerimaan anggota baru Sispala (Siswa Pecinta Alam), namun karena di sana memerlukan banyak peralatan yang harus dibeli, saya urungkan niat. Di akhir sekolah SMA, saya menerima kabar baik. Saya diterima tanpa tes di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara. Sebuah rahmat yang sangat saya syukuri. Sebab jika tidak karena itu, saya mungkin tidak akan kuliah karena masalah biaya tes dan sebagainya. Saat ke Medan saya ditemani seluruh keluarga. Kebetulan papa saya dulu juga pernah bersekolah di Medan meski pun akhirnya putus di tengah jalan juga karena biaya. Selama kuliah di Medan, masa-masa saya sekolah di Padang memberikan pengalaman berharga yang membuat saya sudah terbiasa hidup mandiri. Uang kiriman orangtua biasanya dikirimkan lewat wesel. Sering kali wesel datang terlambat sehingga saya harus menahan selera. Ajakan teman untuk makan di rumahnya menjadi sesuatu yang sangat mewah saat itu. Beruntung, kemampuan menulis saya memberikan manfaat. Saya banyak menulis untuk media lokal di Medan. Rubrik apa saja saya isi untuk mengharapkan honor. Maka pernah satu ketika, 4 tulisan saya dimuat dalam satu edisi koran. Kebetulan saat itu, Papa saya sedang berkunjung ke Medan. Saya bisa melihat betapa bangganya Papa melihat tulisan-tulisan saya itu. Begitulah hidup. Terus berjalan. Saya pernah kos di kampus, di kantor redaksi pers kampus demi menghemat uang di tangan. Saat wisuda, kedua orangtua saya datang bersama saudari Papa saya yang kemudian menjadi mertua saya. Mereka saya inapkan di kantor pers kampus itu. Kini tak terasa, sudah 39 tahun saya ada di dunia ini. Keinginan orangtua saya agar saya berjalan jauh saat menghanyutkan ari-ari saya sudah terpenuhi. Lewat pekerjaan saya sebagai reporter tv, saya sudah menginjakkan kaki di beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, India, Hong Kong dan China. Namun satu yang belum bisa saya lakukan adalah membalas jasa kedua orangtua saya. Papa saya kena stroke 3 tahun lalu. Sejak saat itu dia tidak bisa duduk. Sudah 3 tahun Papa hanya bisa berbaring. Ingin rasanya saya bawa Papa berobat sampai sembuh. Namun apa daya tak ada biaya. Ingin rasanya memberi kebahagiaan di hari tua Papa dan Umak namun itu belum kesampaian.

DSCI1597
DSCI1597

Anak tertua saya tahun ini sudah kelas 6 SD dan sebentar lagi sudah SMP. Dia memiliki kisah hidup sendiri, setidaknya tidak sama dengan kisah hidup saya. Saya bersyukur telah diberikan semua yang pernah saya alami. Kata pepatah hidup hanya sekali dan buatlah dia berarti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun