Melihat maket gedung baru DPR RI kita nan megah, rasanya hanya ada satu ucapan yang pantas, yakni: WOW ! Sebagai bangsa yang berdaulat, kita harus bangga memiliki gedung megah seperti itu. Namun sebagai bangsa yang 'katanya' bermoral, kita juga seharusnya malu memiliki gedung mewah seperti itu di tengah masih tingginya angka kemiskinan di negeri 'gemah ripah loh jinawi' ini. Ada satu hal yang menurut saya menjadi tren bagi pejabat di Indonesia, yakni KEMEWAHAN ! Jabatan dan status sosial selalu saja hanya berpatokan pada kemewahan. Gedung megah, mobil mahal, penampilan keren, pokoknya segala hal yang mengesankan serba wah. Ini sangat berbeda dengan kebiasaan hidup sederhana yang dianut di beberapa negara. Saya sering melakukan peliputan ke kantor-kantor pemerintahan. Suasana kantor di kota besar biasanya sangat terkesan wah. Bahkan di ruangan kepalanya, biasanya tak kalah dengan fasilitas hotel mewah. Jangankan ruangan sekelas gubernur, ruangan untuk jabatan kepala dinas, bahkan camat dan Kapolsek biasanya juga mewah. Â Kelihatannya mereka malu jika tamunya menganggap ruangannya dekil. Suasana yang sangat berbeda akan terasa jika saya melakukan peliputan ke kantor-kantor tingkat dua di daerah. Biasanya gedungnya lebih sederhana. Namun untuk suasana di rumah dinas dan pejabat sekelas bupatinya tetap akan terkesan mewah. Nah, bicara soal pejabat, Anda bisa melihat perubahan drastis saat seseorang menduduki jabatan tertentu. Saya mengenal seorang aktifis partai yang mengendarai sepeda motor saat sibuk kampanye. Dia lalu terpilih di DPRD I. Awal-awal bertugas ia biasanya diantar naik sepedamotor oleh adiknya ke kantor. Beberapa bulan kemudian, setelah mulai mendapatkan jatah mobil dinas, gayanya mulai berubah. Jarak dengan orang lain pun sepertinya berubah. Lihat pula menteri-menteri kita. Banyak fasilitas yang mereka dapatkan setelah menjabat. Nah, terkait dengan adanya rencana pembangunan gedung baru DPR, kita jangan terkejut kalau para anggota DPR ngotot dan kukuh dengan rencana mereka. Karena memang begitulah adanya negara kita. Semua diukur dengan kemewahan. Kalau belum terkesan mewah sepertinya masih ada yang kurang. Saya pernah melakukan tugas liputan di India. Disana saya melihat bagaimana hidup sederhana itu memang bukan hanya sekadar simbol. Hidup sederhana memang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh pejabat-pejabat disana. Saat saya dan rombongan berkunjung ke pabrik mobil Tata, beberapa karyawan mereka mendekat ke mobil dinas staf KJRI yang membawa kami. Mereka sangat kagum dengan mobil dinas staf KJRI itu. Mobilnya Mercedes Benz, yang di India dianggap sangat mewah, karena mereka biasanya membeli mobil produksi dalam negeri mereka bermerk Tata. "Indonesia is very rich..." kata mereka sambil mengangkat jempol. Saat rombongan berkunjung ke lokasi belanja, para istri pejabat itu memborong kain sari. Sampai-sampai ada yang belanja Rp 90 juta di satu toko. Saya yang hanya bisa menonton, sempat berbincang dengan para penjaga toko. Kesan mereka sama. 'INDONESIA sangat kaya ya?" kata mereka. Nah, karena kesan itu, wajar kan kalau DPR harus memiliki gedung mewah dan megah? Agar anggota parlemen di negara-negara lain bisa berkomentar takjub juga. Ngomong-ngomong soal keserhanaan ini, menurut saya kita harus belajar banyak ke India. Disana, masyarakatnya diminta mencintai produk dalam negeri. Namun bukan cuma slogan. Beda dengan disini. Pejabat sibuk meminta warga agar cinta produk dalam negeri. Sementara para pejabat sendiri memakai sepatu, tas dari luar negeri. Mereka sibuk menyatakan bahwa mutu rumahsakit kita tak kalah dengan luar negeri, tapi berobatnya ke luar negeri. Mereka mengatakan mutu pendidikan kita tak kalah dengan luar negeri, namun semua anaknya sekolah di luar negeri. Tak sesuai perkataan dengan kenyataan. Menurut Buya Syafii Maarif, tak sesuai kata dan perbuatan ini bisa disebut berbohong. Di Mumbai, India, saya pernah dibawa ke Filmcity. Sebuah kawasan pusat perfilman India. Disana ada perkantoran dan studio alam. Kalau kita melintas, di kiri kanan jalan banyak kru film yang sedang shooting. Usai berkeliling, kami dibawa ke kantor pimpinan disana. Awalnya saya tak menyangka kalau itu adalah ruangan pimpinan Filmcity. Mengapa tidak, ruangan itu hanya ruangan sederhana. Sebuah lukisan di dinding, lalu ada kursi kayu sederhana dan meja. Di sudut ruangan ada televisi 14 inchi. Sudah ! Padahal itu ruangan orang nomor satu di Filmcity, pusat film, yang menjadi penghasil film terbanyak di seluruh dunia. Dari tempat itu dihasilkan lebih dari 1000 judul film setahun. Ruangannya tak lebih bagus dari ruangan seorang ketua jurusan kita di kampus dulu. Acara-acara yang mereka lakukan saat menyambut rombongan Indonesia juga dilakukan dengan sangat sederhana. Saat berkunjung ke pusat perkereta-apian India, suasananya tak lebih seperti pesta perpisahan di sekolah. Ruangan sederhana, spanduk pun dibuat sederhana dari kain ditempel kertas. Bandingkan dengan di Indonesia, yang setiap acara instansi selalu dibuat terkesan mewah. Kita seakan tak menyangka kalau itu adalah kantornya pusat perkereta-apian dengan pemakai jasa kereta api terbesar di dunia. Beberapa anggota rombongan sempat berbisik-bisik seakan mengejek kesederhanaan itu. Namun mereka langsung terdiam saat ada seorang tokoh India yang dalam pidatonya mengatakan: "Jumlah penduduk kami yang kaya memang hanya sekitar 10 persen dari total populasi, namun 10 persen itu sama dengan 100 juta orang karena penduduk kami jumlahnya 1 milyar. Artinya, jumlah penduduk kami yang kaya sama dengan setengah jumlah penduduk Indonesia..." Dalam kunjungan di India, saya juga sempat ke pusat cyber atau IT disana. Juga ke pabrik motor Bajaj dan ke pusat persenjataan militer mereka di Pune. Semua sama, terkesan sederhana. Beberapa waktu lalu, saya juga mendapat kesempatan diundang ke China. Kesan yang sama dengan India juga saya peroleh disana. Saat rombongan diterima Wakil Menteri Luar Negeri China, kami melihat gedung mereka yang sederhana namun indah dan antik. Halaman depannya dihias dengan bunga aneka macam warna, yang disusun dalam pot yang dibuat bertingkat. Saat berkunjung ke Pabrik perangkat elektronik Huawei, suasananya sama. Hanya ada barisan gadis-gadis yang menyambut kami rombongan wartawan dari seluruh dunia yang sedang menjadi tamu pemerintah China. Kami seakan tak percaya dengan paparan Huawei bahwa mereka saat ini menjadi penguasa hampir 45 persen pasar perangkat keras internet dan pemancar telekomunikasi dunia. Saat berkunjung ke Wuxi, sebuah kota yang indah di Provinsi Jiangsu, kami dibawa ke pusat listrik tenaga surya disana yang bernama Suntech. Pemimpinnya ramah dan sangat sederhana. Bahkan wakilnya, seorang bule yang kira-kira baru berusia 25 tahun, sekilas nampak seperti anak band saja. Padahal mereka adalah perusahaan penyedia listrik tenaga surya dengan kapasitas terbesar di dunia. Disana juga kami dibawa ke Pabrik perangkat komunikasi merk Cynovo. Produk mereka dirancang akan melebihi kemampuan produk Jepang, AS dan Eropa. Ada dua pimpinan disana. Keduanya adalah warga AS keturunan etnis China yang sebelumnya petinggi di Microsoft Amerika Serikat. Penampilan mereka juga sangat sederhana. Tak ada kesan mewah atau wah. Bahkan saat kami baru masuk ke pabrik itu, sebelum mereka mengenalkan diri, kami tak sadar jika orang yang menyalami kami di pintu masuk tadi adalah Bos besar disitu. Saat berkunjung ke kantornya koran China Daily, kami juga disambut di ruangan yang sangat sederhana. Jadi menurut saya, jika kebiasaan, atau jika boleh dikatakan sebagai budaya hedonisme di kalangan pejabat kita tidak berubah, maka untuk selamanya kasus-kasus seperti permintaan gedung baru DPR, fasilitas dll ini akan terus terjadi dan berulang. Yang diperlukan sekarang ini adalah bagaimana pemimpin menunjukkan kerja dengan menyelaraskan kata dan perbuatan. Jangan membuat slogan mengajak berhemat, namun pejabatnya foya-foya. So, jika gedung baru DPR itu rampung, kita harus bangga atau harus malu ???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H