Tiba-tiba saja saya teringat akan sunat gara-gara ada sebuah undangan pesta sunat di atas meja. Di sini, Jakarta dan sekitarnya, sunatan memang dipestakan. Layaknya pesta pernikahan, pesta sunatan juga tak kalah meriah. Gak ada yang salah memang dengan pesta sunatan ini. Hanya saja, saya jadi ingat dengan sunatan saya sendiri di era 80-an.
Saya tinggal di Pasaman Barat, Sumatera Barat. Waktu itu masih bernama Kabupaten Pasaman, belum dimekarkan. Orangtuaku guru dan pegawai kantor pendidikan kecamatan. Sudah biasa bagi kami berpindah tempat seiring penugasan ibuku yang guru.
Liburan menjadi hari yang paling saya tunggu. Maklum, tiap liburan kami sekeluarga pasti pulang kampung, ke kampungnya ibu. Tahun itu, sekitar tahun 1983, saya kelas 2 SD. Kami waktu itu tinggal di Air Bangis, ibu kota kecamatan Sungai Beremas. Saat libur panjang tiba, saya pun langsung ke kampung nenek di Silaping. Waktu itu masih berada di kecamatan yang sama, namun sekarang sudah menjadi ibu kota kecamatan Ranah Batahan. Jarak Air Bangis dan Silaping hanya sekitar 40 KM. Namun karena waktu itu transportasi masih sulit, jarak itu sudah jauh sekali rasanya.
Waktu itu, kebetulan waktu libur SD lebih dulu dibanding libur PNS. Jadilah saya berangkat sendiri dulu ke kampung, keluarga yang lain akan menyusul. Di kampung saya tinggal di rumah nenek. Namun karena saya punya sepupu yang seumuran, saya lebih sering bersama sepupu itu.
Baru dua hari di kampung, teman-teman di sana ternyata sudah direncanakan untuk sunatan. Sunatan di kampungku waktu itu dilakukan bersama-sama. Tukang sunatnya adalah Mantari (Mantri) Jala atau Pak Jalaluddin. Pak Jala ini lumayan ditakuti oleh anak lelaki, karena kalau ada anak yang nakal, sang ibu biasanya akan mengancam menyuruh Pak Jala menyunatnya. Mungkin itu pula yang membuat banyak anak lelaki di kampungku ngeri disunat.
Nah, waktu itu, sepupuku yang bernama Warta sudah kelas 3 SD. Aku waktu itu baru kelas 2 SD. Giliran yang sunatan waktu itu adalah yang kelas 3 SD. Jadi semua anak lelaki yang waktu itu kelas 3 SD, disunat ramai-ramai bersamaan di rumahnya Pak Mantri Jala. Saya yang waktu itu hanya datang liburan, awalnya hanya datang menemani sepupu saya yang bernama Warta.
Di tempat Pak Jala, semua anak sudah berkumpul bersama ayahnya masing-masing. Tiba-tiba saja aku berpikir, mengapa aku nggak ikut sunatan aja sekalian?
Tanpa ba bi bu, aku langsung lari ke rumah nenek yang jaraknya sekitar 200 meter untuk mengambil kain sarung. Soalnya semua anak yang akan disunat wajib membawa kain sarung. Di rumah nenek, saya sampaikan ke nenek kalau saya akan ikut sunat. Awalnya nenek heran juga. Soalnya ini tidak direncanakan dan orang tua saya masih belum tiba ke kampung. Namun nenek kemudian mengizinkan.
Saya tidak tahu kalau sunat itu ternyata bayar. Sepertinya saat itu, nenek sempat ke tempatnya Pak Jala untuk mengatakan bahwa biaya sunatan saya akan dibayar saat orang tua saya tiba ke kampung. Yang saya tahu saat itu, saya ikut antre bersama teman-teman dengan perasaan was was. Tiap ada anak yang selesai disunat, langsung kami tanya sakit atau tidak? Mereka hanya bilang, "seperti digigit semut..."
Waw, digigit semut. Saya sudah pernah merasakan digigit semut itu bagaimana sakitnya. Bahkan di kampung, kami biasanya juga digigit tungau (semacam serangga kecil berwarna merah) di bagian kemaluan. Biasanya kami akan oleskan minyak tanah atau minyak goreng ke bagian yang bengkak untuk membunuh tungau-nya.
Namaku dipanggil, giliranku tiba. Pak Jala nampaknya heran juga. Kalau anak yang lain ditemani ayahnya, kok aku sendirian saja? Setelah berbaring, saya ditanya nama oleh Pak Jala.
"Apa sudah hafal Al Fatihah?"
"Sudah.."
"Coba bacakan..."
Saya pun membaca Al fatihah itu...
"Sudah hafal surat pende?"
"Sudah, Al Ikhlas..."
"Bagus... coba bacakan keras-keras..."
Saya pun membaca surat Al Ikhlas itu keras-keras...
Setelah itu, Pak Jala berkata... "
Sudah selesai... langsung pulang ya..."
Olala, ternyata selama saya membaca ayat-ayat tadi, Pak Jala sekalian sambil bekerja di alat kemaluan saya.
Saat saya keluar dari ruangan Pak Jala, nenek ternyata sudah menunggu di luar.
Saya pun pulang ke rumah nenek dengan berjalan kaki. Tangan kiri saya memegang celana dan tangan kanan memegang kain sarung agak tidak bergesekan dengan burung yang baru disunat.
Sekitar dua hari kemudian, ayah, ibu dan adik-adik saya datang ke kampung. Waktu itu belum ada SMS atau telepon. Mereka kaget sekaligus surprise sekali mendapati saya sudah disunat. Nenek yang bercerita ke mereka. Aku waktu itu sudah tiduran saja.
Nah, meski tidak dipestakan, di tempatku orang yang disunat itu bagaikan raja. Apa saja yang diminta pasti dibelikan. Makanan tak hentinya datang. Ayah rajin membelikan sate. Setelah sunatan agak kering, aku pun sudah boleh jalan-jalan sekitar rumah. Namun masih selalu harus pakai sarung. Agar tidak sulit memegangi sarung terus-terusan, kami membuat rotan di pinggang. Rotan diikatkan di pinggang dengan bagian depannya agak maju agar kain sarung bisa ditahan dan tidak bergesekan dengan si burung.
Sunat waktu itu masih pakai perban berlapis-lapis. Saat yang mendebarkan adalah saat melepas perban itu. Biasanya banyak yang menjerit-jerit kesakitan. Untuk melepas perban, harus ada air panas suam-suam kuku. Air itu disiramkan perlahan ke perban agar terlepas dari si burung. Jika tidak hati-hati, sering perban lepas membawa kulit kemaluan dan berdarah. Ini berbahaya karena bisa membuat si kemaluan bengkak. Istilah kemaluan sunat bengkak ini di tempatku disebut bontan. Meski tidak sempurna, saya berhasil melepas perban dengan selamat. Setelah perban lepas, kemaluan rasanya geli sekali kalau kena kain sarung. Biasanya masih butuh beberapa hari untuk membiasakan diri pakai celana. Proses yang lama ini yang membuat sunatan biasanya dilakukan waktu libur panjang.
Begitulah cerita soal sunatanku yang dadakan. Tahun ini, anakku Baron sudah kelas 2 SD. Rencananya dia akan disunat tahun depan. Namun kisahnya tentu akan berbeda denganku. Baron sudah direncanakan sunat laser. Meski di lingkunganku sunat dipestakan, saya tidak berniat membuat pesta. Cukup selamatan dengan memanggil pengajian berdoa saja. Begitulah sunatanku, bagaimana sunatanmu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H