Saat saya keluar dari ruangan Pak Jala, nenek ternyata sudah menunggu di luar.
Saya pun pulang ke rumah nenek dengan berjalan kaki. Tangan kiri saya memegang celana dan tangan kanan memegang kain sarung agak tidak bergesekan dengan burung yang baru disunat.
Sekitar dua hari kemudian, ayah, ibu dan adik-adik saya datang ke kampung. Waktu itu belum ada SMS atau telepon. Mereka kaget sekaligus surprise sekali mendapati saya sudah disunat. Nenek yang bercerita ke mereka. Aku waktu itu sudah tiduran saja.
Nah, meski tidak dipestakan, di tempatku orang yang disunat itu bagaikan raja. Apa saja yang diminta pasti dibelikan. Makanan tak hentinya datang. Ayah rajin membelikan sate. Setelah sunatan agak kering, aku pun sudah boleh jalan-jalan sekitar rumah. Namun masih selalu harus pakai sarung. Agar tidak sulit memegangi sarung terus-terusan, kami membuat rotan di pinggang. Rotan diikatkan di pinggang dengan bagian depannya agak maju agar kain sarung bisa ditahan dan tidak bergesekan dengan si burung.
Sunat waktu itu masih pakai perban berlapis-lapis. Saat yang mendebarkan adalah saat melepas perban itu. Biasanya banyak yang menjerit-jerit kesakitan. Untuk melepas perban, harus ada air panas suam-suam kuku. Air itu disiramkan perlahan ke perban agar terlepas dari si burung. Jika tidak hati-hati, sering perban lepas membawa kulit kemaluan dan berdarah. Ini berbahaya karena bisa membuat si kemaluan bengkak. Istilah kemaluan sunat bengkak ini di tempatku disebut bontan. Meski tidak sempurna, saya berhasil melepas perban dengan selamat. Setelah perban lepas, kemaluan rasanya geli sekali kalau kena kain sarung. Biasanya masih butuh beberapa hari untuk membiasakan diri pakai celana. Proses yang lama ini yang membuat sunatan biasanya dilakukan waktu libur panjang.
Begitulah cerita soal sunatanku yang dadakan. Tahun ini, anakku Baron sudah kelas 2 SD. Rencananya dia akan disunat tahun depan. Namun kisahnya tentu akan berbeda denganku. Baron sudah direncanakan sunat laser. Meski di lingkunganku sunat dipestakan, saya tidak berniat membuat pesta. Cukup selamatan dengan memanggil pengajian berdoa saja. Begitulah sunatanku, bagaimana sunatanmu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H