Mohon tunggu...
Laurensius Mahardika
Laurensius Mahardika Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Psychology

Penulis karbitan yang menyukai teknologi, musik dan sepakbola. Email: dennysantos038@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Coping Stress", Definisi dan Berbagai Pertanyaan Terkaitnya

13 Oktober 2018   19:00 Diperbarui: 13 Oktober 2018   19:10 4408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: leecounselingservices.net

               Sebelum masuk lebih lanjut ke tulisan ini, saya perlu mengakui bahwa tulisan ini adalah hasil kebimbangan dari skripsi saya yang membahas tentang strategi coping stress. Untuk itu, saya menulis ini untuk membantu saya mengelaborasi topik ini.

Pemahaman mengenai variabel ini bagi saya juga tidak bisa dijelaskan hanya dari satu pandangan, melainkan beberapa aspek pandangan dan penelitian berbeda. Yah, walaupun saya tidak akan memaparkan semua penelitian.

Di sisi lain, mungkin tulisan ini juga bisa menjadi informasi baru bagi teman-teman 'skripsi fighter' dengan topik yang sama atau hanya sekedar mengetahui apa itu coping stress.

Jelas setiap manusia memiliki masalah dalam hidupnya. Silahkan saja jika anda ingin membantah pernyataan ini dengan menjawab, "Saya tidak punya masalah tuh" dengan memaparkan bukti bahwa anda tidak memiliki masalah. Tapi jika hari depan anda akhirnya memiliki masalah, jangan salahkan saya.

Yup, masalah mungkin tidak datang sekarang, namun untuk selanjutnya kita tidak tahu. Begitupun pula masalah yang ada sebelumnya, bisa saja datang lagi atau mungkin ada sudah terbiasa dengan masalah tersebut. Akhirnya kembali lagi dari pernyataan di awal paragraf sebelumnya: setiap orang memiliki masalah. Sekali lagi, silahkan membantah pernyataan ini jika memang anda tidak pernah memiliki masalah seumur hidup anda!

Tidak ada yang tidak ingin keluar dari masalah. Untuk itu, jika ada masalah, kita senantiasa berusaha untuk keluar mencari jalan keluarnya. Tindakan untuk mencari jalan keluar itulah yang disebut coping stress. Lebih lanjut lagi, Folkman dan Lazarus (1986) mengatakan bahwa coping merujuk pada usaha secara perilaku nampak maupun kognitif untuk menghadapi masalah, baik dengan melawan sumber stres maupun meregulasi emosi.

Kata "usaha" dalam pernyataan tersebut perlu digarisbawahi karena hal tersebutlah yang membedakan coping dengan adaptation. Jika suatu masalah butuh usaha untuk menyelesaikannya, maka disebut coping.

Akan tetapi, jika masalah tersebut bukanlah menjadi masalah lagi, berarti orang tersebut sudah melakukan 'adaptasi' dengan masalah tersebut. Lebih lanjut lagi, adaptasi bisa dibilang sebagai hasil yang didapat melakukan usaha (coping) tersebut.

Nah, bagaimana jika orang tersebut tidak berusaha atau hanya sedikit usaha untuk menghadapi masalah tersebut? Hal tersebut disebut dengan defense.

Kenapa? Karena mereka hanya bertahan pada situasi tersebut. Kalian bisa merujuk pada teori Freud tentang defense mechanism dimana Freud memaparkan beberapa jenis pertahanan diri seperti contohnya: mengingkari bahwa dia tidak punya masalah (disebut denial).

Ketiga inilah yang menurut saya perlu dibedakan secara teoritik, walaupun sebenarnya kita dapat menalar hal tersebut. Ketiga hal tersebut juga dapat saling berinteraksi satu sama lain.

Saya analogikan seperti permainan sepak bola. Pada saat tertekan oleh musuh, tim berusaha sebaik mungkin untuk bertahan supaya setidaknya tidak kebobolan. Jelas untuk memenangkan pertandingan tim bola tersebut perlu juga mencetak gol untuk memenangkan pertandingan. Sembari bertahan, mereka memikirkan cara bagaimana keluar dari tekanan tersebut sehingga mampu mencetak gol.

Jika cara tersebut mereka akhirnya berhasil mencetak gol, mereka akan mengulanginya dan beradaptasi dengan pola permainan tersebut.

Cara untuk keluar dari tekanan tersebut yang dinamakan coping strategies. Jelas setiap tim sepak bola memiliki cara dan pola masing-masing dalam memenangkan pertandingan.

Begitu pula kita sebagai individu. Folkman dan Lazarus sendiri menjabarkan ada dua strategi umum individu dalam mengatasi masalahnya: problem-focused coping dan emotional-focused coping.

Problem-focused coping sendiri adalah dimana individu tersebut mengatur atau mengubah sumber stress tersebut agar dapat menyelesaikan masalahnya.

Dalam hal ini, individu yang memiliki cara tersebut cenderung melakukan tindakan langsung kepada sumber masalahnya.

Contohnya, jika ada seorang siswa yang tertekan karena dia akan menghadapi ujian minggu depan. Anak tersebut tahu bahwa sumber masalahnya adalah ujian tersebut sehingga dia berusaha keras belajar dan berdiskusi dengan temannya supaya dia dapat melalu ujian tersebut dengan baik. Itulah yang dimaksud dengan problem-focused coping.

Sebaliknya, emotional-focused coping adalah dimana individu tersebut memilih untuk mengatur emosi yang membuat dirinya tertekan.

Kembali pada contoh di atas, siswa tersebut tahu bahwa dia merasa tertekan dengan ujian tersebut. Siswa tersebut lebih memilih untuk hang out, bermain game, ataupun membaca novel agar dirinya tidak merasa tertekan oleh ujian tersebut. Itulah yang dinamakan dengan emotional-focused coping.

Penelitian tentang jenis coping terus dikembangkan dari tahun ke tahun. Hal tersebut tidak lepas dari manusia itu sendiri yang memiliki kehidupan dan masalah yang berbeda-beda seiring berkembangnya jaman. Disini saya mencoba mengelaborasi semampu saya tentang jenis coping melalui pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari diri saya sendiri maupun orang lain:

Apakah ada jenis lain selain kedua jenis tersebut?

Ada. Folkman dan Lazarus hanyalah salah satunya, walaupun dia yang pertama mencetuskan. Contohnya seperti Aldwin dan Revenson (1987) yang memberi aspek penengah dari kedua jenis coping tersebut. Carver dan Scheier (1989) juga merubah dan menjabarkan kembali aspek yang dimiliki Folkman & Lazarus dan bahkan menghubungkannya dengan situsasi dan kondisi yang berbeda. Shinn, dkk. (1984) pun juga memiliki pendapat yang berbeda jika situasi tersebut berhubungan dengan pekerjaan jaksa. Pareek (dalam Indirawati, 2006) bahkan mengungkapkan ada 8 jenis coping yang dimiliki individu.

Saya tidak bisa menyebutkan semua aspeknya karena nanti terlalu banyak hal yang harus dibahas. Lagi, coping sendiri memang perlu dikembangkan lebih lanjut lagi. Fenomena dan situasi tertentu bisa saja memunculkan jenis coping yang tertentu pula. Maka dari itu, perlu ada penelitian dengan kondisi lain dan mungkin saja spesifik agar dapat mengembangkan variabel ini.

Apakah orang dapat memiliki dua jenis atau lebih coping dalam satu waktu?

Pertanyaan ini cukup sulit untuk saya pribadi dan membuat saya harus mencari literatur lebih banyak lagi. Hasil pencarian saya sementara bahwa sebenarnya bisa individu memiliki dua coping sekaligus. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Folkman dan Lazarus yang mengatakan bahwa problem-focused coping dan emotional-focused coping sebenarnya dapat berkaitan satu sama lain.

Contohnya, seorang wanita yang memiliki masalah dengan pacarnya memilih curhat dengan temannya agar dia dapat mengungkapkan perasaannya sehingga lebih tenang (emotional-focused coping). Setelah dia tenang, dia dapat meminta pendapat temannya bagaimana caranya agar masalah dengan pacarnya selesai (problem-focused coping). Ini hanyalah salah satunya karena saya hanya merujuk dari satu pandangan. Mungkin saja teman-teman memiliki sumber lain yang menyatakan sebaliknya. Namun dari jawaban sementara tersebut, munculah pertanyaan lagi:

Jika memang bisa memiliki dua atau lebih jenis coping, apakah ada yang lebih dominan digunakan atau malah seimbang?

Jawaban saya: Bisa iya, bisa juga tidak. Jika kita merujuk pada jawaban dari pernyataan sebelumnya, kedua jenis coping tersebut saling berkaitan. Dari contoh sebelumnya bisa dikatakan wanita tersebut menggunakan kedua coping secara bersamaan. Bisa disimpulkan bahwa tidak ada yang dominan disini, semua digunakan. Lah, bisa gak kalau wanita itu sebenarnya curhatnya lebih banyak daripada minta solusi? Saya coba jawab lagi-lagi sebisa saya merujuk penelitian yang dipaparkan dalam buku Passer (2009) terkait efektivitas coping stress:

Holahan dan Moss (1990) melakukan studi tentang pola coping pada orang dewasa di California selama satu tahun. Dalam hasil penelitianya, sebenarnya pola coping yang digunakan beragam. Namun yang lebih dominan adalah problem-focused coping. Hal ini kontras dengan penelitian Snyder (2001) dimana dia menemukan bahwa anak-anak lebih menggunakan emotional-focused coping lebih dominan dipakai.

Dari kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa seiring bertambahnya usia juga mempengaruhi jenis coping yang digunakan. Semakin kita dewasa kita akan berpikir lebih logis sehingga dapat menyelesaikanS masalahnya langsung ke sumber masalahnya. Catatannya adalah, kedua penelitan tersebut memiliki jawaban yang beragam. Hal tersebut juga memungkinkan bahwa sebenarnya anak-anak dapat pula menggunakan problem-focused copingnya. Pula sebaliknya orang dewasa pada situasi tertentu dapat menggunakan emotional-focused copingnya lebih dominan.

Coping Stress apa yang paling baik digunakan?

Kebanyakan orang pasti berpikir bahwa problem-focused coping terlihat lebih baik digunakan karena tindakannya yang lebih terlihat "dewasa". Sayangnya penelitian yang dilakukan oleh Strentz dan Auerbach (1988) mengatakan sebaliknya:

Strentz dan Auerbach bekerja sama dengan FBI untuk membuat program untuk penanganan pada potensi kejahatan pembajakan pesawat. Partisipannya sendiri adalah petugas penerbangan sendiri, dimana mereka akan dikondisikan sebagai sandera dari simulasi pembajakan penerbangan. Partisipan tersebut diberi dua kondisi berbeda, yaitu partisipan tersebut dilatih menggunakan problem-focused coping dan emotional-focused coping. Hasilnya adalah, partisipan lebih beradaptasi serta memiliki tingkat stres yang rendah dengan menggunakan emotional-focused coping. Kesimpulannya adalah, emotional-focused coping efektif dalam mengatasi situasi yang tidak terkontrol dan tak terduga.

Dari penelitian tersebut dapat terlihat bahwa strategi coping tertentu akan efektif jika dilakukan pada situasi tertentu juga. Walaupun begitu, Aldwin dan Werner (2007) mengatakan bahwa terdapat pula pendekatan personal-based dalam memahami coping. Dari pendekatan tersebut, memungkinkan individu menggunakan coping yang lebih disukai pada situasi yang bahkan tidak cocok untuk menggunakan coping yang mereka sukai itu.

Sebenarnya masih banyak pertanyaan terkait coping stress itu sendiri bagi saya. Namun saya tidak bisa ungkapkan semuanya karena mengingat panjang artikel ini saja sudah keterlaluan.

Kita tahu, setiap individu adalah unik. Dan dari situ kita juga mengerti setiap orang memiliki cara penanganan masalahnya masing-masing. Belum tentu individu yang memilih untuk merokok dan menenangkan pikirannya tidak dapat menyelesaikan masalahnya (emotional-focused coping). Begitu pula sebaliknya, orang rajin juga belum tentu bisa menyelesaikan masalahnya sebaik orang tadi.

Folkman dan Lazarus sendiri mengatakan bahwa yang terpenting dari coping stress adalah efektivitasnya. Efektivitas dari coping stress itu sendiri dimana akhirnya kita dapat beradaptasi dengan situasi tersebut, dengan catatan kita juga menyelesaikan masalahnya. Dan bagi saya sendiri, saya menyadari bahwa: mempelajari cara menangani masalah adalah sebuah masalah bagi saya.

Referensi Utama:

Aldwin, C. M. (2007). Stress, Coping, and Development. New York: The Guilford Press

Folkman, S. & R. Lazarus. (1984). Stress, Appraisal and Coping. New York: Springer Publishing Company, Inc.

Passer, M. W. & Ronald E. Smith. (2009). Psychology: The Science of Mind and Behavior 4th Edition. New York: McGraw-Hill.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun